Kamis, 19 Januari 2012

MANAJEMEN NYERI AKUT DAN NYERI REFRAKTER


PENDAHULUAN ———————————————————————–
Woolf (1989) secara kualitatif membagi nyeri menjadi dua jenis yakni nyeri fisiologis dan nyeri patologis. Perbedaan utama antara kedua jenis nyeri adalah bahwa nyeri fisiologis adalah sensor normal yang berfungsi sebagai alat proteksi tubuh, sedangkan nyeri patologis merupakan sensor abnormal yang menderitakan seseorang.
Nyeri patologis merupakan sensasi yang timbul sebagai konsekuensi dari adanya kerusakan jaringan atau akibat adanya kerusakan saraf. Jika proses inflamasi mengalami proses penyembuhan normal sehingga menghilang sesuai dengan penyembuhan disebut sebagai adaptive pain yang lazim dikenal sebagai nyeri akut. Di pihak lain, kerusakan saraf justru berkembang menjadi intractable pain setelah penyembuhan usai, disebut sebagai maladaptive pain, dan lazim dikenal sebagai neuropathic pain.
lanjut
KONSEP UTAMA ——————————————————————————
Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologinya (misal: nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik), etiologinya (misal: nyeri postoperatif dan nyeri kanker), ataupun area yang dipengaruhinya (misal: nyeri kepala dan nyeri punggung bawah).
Nyeri nosiseptif diakibatkan oleh aktivasi atau sensitisasi nosiseptor perifer yang merupakan reseptor khusus yang menghantarkan stimulus noxious. Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cidera atau abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perifer maupun sentral.
Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang dihasilkan oleh stimulus noxious karena suatu cidera, proses penyakit, atau abnormalitas struktur otot maupun visera. Nyeri ini hampir selalu bersifat nosiseptif.
Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap melebihi rentang waktu suatu proses akut atau melebihi kurun waktu normal tercapainya suatu penyembuhan; periodenya dapat bervariasi dari 1 hingga 6 bulan. Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif, neuropatik, atau gabungan keduanya.
Modulasi nyeri terjadi secara periferal pada nosiseptor, pada korda spinalis, atau struktur supra spinal. Modulasi ini dapat diinhibisi ataupun difasilitasi.
Nyeri akut moderate sampai berat, tergantung lokasinya, dapat mempengaruh fungsi organ di sekitarnya dan memiliki peran pada morbiditas maupun mortalitas perioperatif.
Blokade neural dengan anestesi lokal dapat digunakan untuk membatasi mekanisme nyeri, namun yang lebih penting, blokade ini memainkan peran penting dalam manajemen pasien dengan nyeri akut maupun kronis.
Secara umum, peran antidepresan yang utama adalah mengatasi keluhan pasien dengan nyeri neuropatik seperti postherpetik neuralgia dan neuropati diabetika. Agen ini memperlihatkan efek analgesik pada dosis yang lebih rendah daripada dosis efek antidepresannya.
Antikonvulsan biasanya digunakan pada pasien dengan nyeri neuropatik, terutama neuralgia trigeminal dan neuropati diabetika.
Stimulasi corda spinalis paling efektif untuk nyeri neuropatik. Mekanisme yang diajukan adalah aktivasi descending modulating system dan inhibisi symphatetic outflow. Indikasi stimulasi corda spinalis yang dapat diterima meliputi sympathetically mediated pain, lesi korda spinalis dengan nyeri segmental terlokalisasi, phantom limb pain, iskemia ekstremitas bawah karena penyakt vaskular perifer, serta adhesive arachnoiditis.
Penggunaan gabungan anestetika lokal dan opioid adalah teknik yang sangat bagus untuk menangani nyeri postoperatif setelah suatu prosedur yang melibatkan abdomen, pelvis, thorax maupun ortopedik.
Efek samping yang serius dari penggunaan opioid epidural atau intratekal adalah dose-dependent dan depresi respirasi. Kebanyakan kasus depresi respirasi terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi opioid parenteral atau sedatif. Pasien yang berusia tua atau mereka yang mengalami sleep apnea tampaknya lebih rentan terhadap efek samping tersebut, sehingga memerlukan pengurangan dosis.
Dependensi fisik terjadi pada semua pasien yang menggunakan opioid dosis besar dalam waktu yang lama. Fenomena withdrawl dapat dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid.
Multiple trigger dapat menginduksi terjadinya sympathetically maintained pain, yang seringkali mengalami overlooked atau misdiagnosis. Pasien sering berespon secara dramatis terhadap blok simpatis. Tingkat penyembuhan sangat tinggi (lebih dari 90%) jika terapi dimulai dalam 1 bulan sejak ditemukannya gejala.
DEFINISI dan KLASIFIKASI NYERI ——————————————————–
Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious). Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin (serabut C).
Menurut IASP (The International Association for Study of Pain), nyeri adalah “pengalaman dan emosi sensori yang tidak menyenangkan dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau potensial rusak”. Definisi ini menggambarkan adanya suatu gabungan antara komponen objektif, aspek psikologis nyeri serta faktor subjektif dan emosi. Respon terhadap nyeri dapat sangat bervariasi antara orang yang satu dengan orang yang lain dan pada orang yang sama dalam waktu yang berbeda.
Terminologi “nosisepsi” yang diambil dari kata noci yang berarti “cidera”, digunakan untuk mendeskripsikan respon neural terhadap stimulus traumatik maupun noxious. Semua nosisepsi menghasilkan nyeri, namun tidak semua nyeri merupakan hasil nosisepsi. Banyak pasien merasakan nyeri tanpa suatu stimulus noxious. Karenanya, secara klinis kita membagi nyeri ke dalam dua kategori yaitu (1) nyeri akut, biasanya karena nosisepsi dan (2) nyeri kronis, mungkin karena nosisepsi, namun dengan faktor psikologis dan behavioral sebagai faktor utama.
A. Nyeri akut
Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan stimulus noxious karena suatu cidera, proses penyakit atau fungsi abnormal otot dan visera. Sifatnya hampir selalu nosisepsi. Nyeri nosiseptif dihadirkan untuk mendeteksi, melokalisasi dan membatasi kerusakan jaringan. Empat proses fisiologis yang terlibat adalah transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
-Transduksi
Perubahan potensial nosiseptor menjadi arus elektro-biokimia / impuls sepanjang akson. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf.
-Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer melewati cornu dorsalis korda spinalis menuju korteks serebri.
-Modulasi
Proses pengendalian interna oleh sistem saraf, dapat meningkatkan atau mengurangi impuls nyeri.
-Persepsi
Hasil rekonstruksi SSP tentang impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil kerja sistem saraf sensoris, informasi kognitif dan pengalaman emosional.
Tipe nyeri ini biasanya dihubungkan dengan stress neuro-endokrin (berkeringat, berdebar-debar) yang proporsional dengan intensitasnya. Nyeri ini dapat berupa nyeri postoperatif, nyeri obstetri, nyeri pada penyakit medis akut (AMI, pankreatitis, batu ginjal), dll. Kebanyakan nyeri akut dapat sembuh sendiri (self limited) atau menyembuh dengan pengobatan selama beberapa hari atau minggu. Ketika nyeri gagal menyembuh baik karena abnormalitas proses penyembuhan maupun pengobatan yang tidak adekuat, nyeri dapat berkembang menjadi kronis. Dua tipe nyeri akut — nyeri somatik dan nyeri viseral — dibedakan berdasarkan asal nyeri dan gambaran klinisnya.
B. Nyeri kronis
Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap melebihi rentang waktu suatu proses akut atau melebihi kurun waktu normal tercapainya suatu penyembuhan; periodenya dapat bervariasi dari 1 hingga 6 bulan. Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif, neuropatik, atau gabungan keduanya.
ANATOMI dan FISIOLOGI NOSISEPSI —————————————————-
Pain pathway
Ada tiga neuron yang terlibat dalam jalur nyeri
1. First order neuron; menghantarkan nyeri dari perifer ke medula spinalis
2. Second order neuron; menghantarkan nyeri dari medula spinals ke thalamus
3. Third order neuron; menghantarkan nyeri dari thalamus ke korteks
Fisiologi Nosisepsi
1. Nosiseptor
- Merupakan serabut saraf bebas (free nerve ending / serabut C), bersifat aferen (sensoris)
- Reseptornya untuk rangsangan suhu, mekanik dan kimia; terutama rangsang pada jaringan yang rusak.
- Tipenya:
Mekanonosiseptor; pada sentuhan dan tusukan
Silent nosiseptor; pada reaksi inflamasi
Polimodal mekano-heat-nosiseptor; pada tekanan kuat, peningkatan suhu (>42°C dan 2
Lamotrigine 24 25-400 2-20
Phenytoin 22 200-600 10-20
Topiramate 20-30 25-200 Unknown
Valproic acid 6-16 750-1250 50-100
Kortikosteroid
Glukokortikoid digunakan secara luas dalam manajemen nyeri karena efek antiinflamasi dan analgesik yang dimiliki. Agen ini dapat diberikan secara topikal, oral, atau parenteral (intravena, subkutan, intra bursa, intraartikular, dan epidural). Kelebihan glukokortikoid dapat menimbulkan hipertensi, hiperglikemi, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, ulkus peptik, osteoporosis, nekrosis aseptik caput femoral, myopati proximal, katarak, dan (jarang) psikosis.
Kortikosteroid Rute pemberian Aktivitas glukokortikoid Aktivitas mineralokortikoid Dosis equivalen (mg) Waktu paruh (jam)
Hydrocortisone O, I, T 1 1 20 8-12
Prednisone O 4 0,8 5 12-36
Prednisolone O, I 4 0,8 5 12-36
Methyl-prednisolone O, I, T 5 0,5 4 12-36
Triamcinolone O, I, T 5 0 4 12-36
Betamethasone O, I, T 25 0 0,75 36-72
Dexamethasone O, I, T 25 0 0,75 36-72
O : oral, I : injectable, T : topical
Systemic Local Anaesthetics
Anestetika lokal dapat digunakan secara sistemik pada pasien dengan nyeri neuropatik. Agen ini menghasilkan efek sedasi dan analgesi sentral. Lidokain, prokain, dan klorprokain adalah agen yang paling sering digunakan, diberikan secara slow bolus maupun infus kontinyu. Lidokain diberikan melalui infus selama 5-30 menit untuk dosis total 1-5 mg/kg. prokain 200-400 mg dapat diberikan secara intravena selama 1-2 jam. Klorprokain (i% solution) diinfuskan dengan kecepatan 1 mg/kg/min untuk total dosis 10-20 mg/kg. Monitoring yang harus dilakukan meliputi elektrokardiogram (EKG), tekanan darah, respirasi dan status mental. Alat resusitasi harus selalu tersedia. Tanda-tanda toksisitas meliputi tinnitus, slurring, sedasi esksesif dan nistagmus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar