FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU
I. ANTARAN
Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang
dari ilmu-ilmu . Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk
menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara
tepat dan lebih memadai. Filsafat telah mengantarkan pada sebuah
fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi
dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh
mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan.
Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya melepaskan diri dari batang
filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti
metodologinya sendiri-sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya
ilmu-ilmu baru dengan berbagai disiplin yang akhirnya memunculkan pula
sub-sub ilmu pengetahuan baru kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus
lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Ilmu pengetahuan hakekatnya
dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas
(konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat
ditentukan dengan patokan-patokan serta tolok ukur yang mendasari
kebenaran masing-masing bidang.
Dalam kajian sejarah dapat dijelaskan bahwa perjalanan manusia telah
mengantarkan dalam berbagai fase kehidupan . Sejak zaman kuno,
pertengahan dan modern sekarang ini telah melahirkan sebuah cara pandang
terhadap gejala alam dengan berbagai variasinya. Proses perkembangan
dari berbagai fase kehidupan primitip–klasik dan kuno menuju manusia
modern telah melahirkan lompatan pergeseran yang sangat signifikan pada
masing-masing zaman. Disinilah pemikiran filosofis telah mengantarkan
umat manusia dari mitologi oriented pada satu arah menuju pola pikir
ilmiah ariented, perubahan dari pola pikir mitosentris ke logosentris
dalam berbagai segmentasi kehidupan.
Corak dari pemikiran bersifat mitologis (keteranganya didasarkan atas
mitos dan kepercayaan saja) terjadi pada dekade awal sejarah manusia.
Namun setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir alam seperti
Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM),
Heraklitos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi
pemikir lainnya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah
kemegahanya diikuti oleh proses demitologisasi menuju gerakan
logosentrisme . Demitologisasi tersebut disebabkan oleh arus besar
gerakan rasionalisme , empirisme dan positivisme yang dipelopori oleh
para pakar dan pemikir kontemporer yang akhirnya mengantarkan kehidupan
manusia pada tataran era modernitas yang berbasis pada pengetahuan
ilmiah.
Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”,
maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat
umum. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya
Ilmu (Pengetahuan). Permasalahan yang akan kita jelajahi dalam
penulisan makalah ini difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat dan
Filsafat Ilmu Sebagai upaya konseptualisasi dan identifikasi”. Disini
dipaparkan deskripsi awal tentang sejumlah kajian yang menyangkut
tentang subbab-subbab yakni : Pengertian Filsafat, Definisi filsafat
ilmu, Obyek material dan formal filsafat ilmu, Lingkup filsafat ilmu dan
subsatnsi permasalahan problem – problem filsafat ilmu
II. Pengertian Filsafat
Problem identifikasi untuk memberikan pengertian dalam khazanah
intelektual seringkali melahirkan perdebatan-perdebatan yang cukup rumit
dan melelahkan. Hampir dalam setiap diskusi berbagai ilmu seringkali
terdapat penjelasan – penjelasan pengertian yang tidak jarang
memunculkan pengertian-pengertian yang beragam. Keberagaman pengertian
ini disebabkan berbagai arah sudut pandang dan focus yang berbeda-beda
diantara para pakar dalam memberikan identifikasi . Dan ini merupakan
sebuah kemakluman sebab kajian ilmu adalah kajian abstraksi konseptual
maka sangat dimungkinkan masing-masing subyek (para pemikir ) memiliki
perbedaan dalam menggunakan paradigma identifikasinya atau proses
menemukan makna dalam sebuah kajian keilmuan. Peradigma tersebut akan
menjadi acuan bagi pemikir untuk menentukan sebuah tolok ukur kebenaran
dari asumsi-asumsi pembentuk dari konsepnya tersebut. Termasuk dalam
persoalan ini adalah apakah yang dimaksud dengan filsafat? Berbagai
jawaban yang sangat beragam dapat ditemukan dalam berbagai literatur.
Arti bahasa
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata
serapan dari bahasa Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani;
Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata
majemuk dan berasal dari kata-kata philia (= persahabatan, cinta dsb.)
dan sophia (= “kebijaksanaan”). Sehingga arti lughowinya (semantic)
adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Sejajar dengan
kata filsafat, kata filosofi juga dikenal di Indonesia dalam maknanya
yang cukup luas dan sering digunakan oleh semua kalangan..
Ada juga yang mengurainya dengan kata philare atau philo yang berarti
cinta dalam arti yang luas yaitu “ingin” dan karena itu lalu berusaha
untuk mencapai yang diinginkan itu. Kemudian dirangkai dengan kata
Sophia artinya kebijakan, pandai dan pengertian yang mendalam. Dengan
mengacu pada konsepsi ini maka dipahami bahwa filsafat dapat diartikan
sebagai sebuah perwujudan dari keinginan untuk mencapai pandai dan cinta
pada kabijakan .
Seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”. Definisi kata
filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi,
paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang
mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis , mendeteksi problem secara radikal, mencari solusi untuk itu,
memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu,
serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
kerja ilmiah.
Berkaitan dengan konsep filsafat Harun Nasution tanpa keraguan
memberikan satu penegasan bahwa filsafat dalam khazanah islam
menggunakan rujukan kata yakni falsafah . Istilah filsafat berasal dari
bahasa arab oleh karena orang arab lebih dulu datang dan sekaligus
mempengaruhi bahasa Indonesia dibanding dengan bahasa- bahasa lain ke
tanah air Indonesia. Oleh karenanya konsistensi yang patut dibangun
adalah penyebutan filsafat dengan kata falsafat.
Pada sisi yang lain kajian filsafat dalam wacana muslim juga sering
menggunakan kalimat padanan Hikmah sehingga ilmu filsafat dipadankan
dengan ilmu hikmah. Hikmah digunakan sebagai bentuk ungkapan untuk
menyebut makna kearifan, kebijaksanaan. sehingga dalam berbagai
literature kitab-kitab klasik dikatakan bahwa orang yang ahli kearifan
disebut Hukama’. Seringkali pula ketika dikaji dalam berbagai
literature kitab-kitab pesantren muncul ungkapan-ungkapan dalam sebuah
tema dengan konsep yang dalam bahasa arabnya misalnya kalimat ‘wa qala
min ba’di al hukama….” . dan juga sejajar dengan kata al-hakim yang
mengandung arti bijaksana. Misalnya ayat yang berbunyi
Artinya: mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana [al
baqarah 2: 32].”
Artinya: serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk.(An Nahl:125)
Dalam terjemahan Depag ditafsiri bahwa Hikmah ialah Perkataan yang
tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil
. Sementara Al Jurjani –sebagaimana dikutip oleh Amsal
Bakhtiar—memberikan penjelasan tentang hikmah, yaitu ilmu yang
mempelajari segala sesuatu yang ada menurut kadar kemampuan manusia.
Perkataan filsafat dalam bahasa Inggris digunakan istilah philosophy
yang juga berarti filsafat yang lazim diterjemahkan sebagai cinta
kearifan. Unsur pembentuk kata ini adalah kata philos dan sophos. Philos
maknanya gemar atau cinta dan sophos artinya bijaksana atau arif
(wise). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu
filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia
ternyata luas sekali,sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan
meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan
kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis yang bertumpu pangkal
pada konsep-konsep aktivitas –aktivitas awal yang disebut pseudoilmiah
dalam kajian ilmu.
Secara lughowi (semantic) filsafat berarti cinta kebijaksanaan dam
kebenaran. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang ada dari
kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta
hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika,
estetika dan teori pengetahuan. Maka problem pengertian filsafat dalam
hakekatnya memang merupakan problem falsafi yang kaya dengan banyak
konsep dan pengertian.
Arti istilah
Sejumlah literatur mengungkapkan, orang yang pertama memakai istilah
philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni
seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam
geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya
“philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya
hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Kemudian, orang yang oleh para
penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales
(640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran
filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran
filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta
untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya.
Menurut sejarah kelahirannya istilah filsafat terwujud sebagai sikap
yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta
kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju
dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah
kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk
mendapatkan kebenaran.
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada
tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala
alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin
kompleks. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu
bersifat “filsafat tentang” sesuatu: tentang manusia, tentang alam,
tentang tuhan (akhirat), tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum,
agama, sejarah, dsb.. Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:
Pertama, filsafat tentang pengetahuan; obyek materialnya,: pengetahuan
(“episteme”) dan kebenaran, epistemologi; logika; dan kritik ilmu-ilmu;
Kedua, filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan, obyek
materialnya: eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat), metafisika
umum (ontologi); metafisika khusus: antropologi (tentang manusia);
kosmologi (tentang alam semesta); teologi (tentang tuhan); Ketiga
filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan: obyek
material : kebaikan dan keindahan,etika; dan estetika; Keempat .
sejarah filsafat; menyangkut dimensi ruang dan waktu dalam sebuah kajian
.
Jika dikelompokkan secara kerakterisitik cara pendekatannya, dalam
filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat. Ciri pemikiran filsafat
mengacu pada tiga konsep pokok yakni persoalan filsafat bercorak sangat
umum, persoalan filsafat tidak bersifat empiris, dan menyangkut
masalah-masalah asasi. Kemudian Kattsoff menyatakan karakteristik
filsafat dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1) Filsafat adalah berpikir secara kritis.
2) Filsafat adalah berpikir dalam bentuknya yang sistematis.
3) Filsafat menghasilkan sesuatu yang runtut.
4) Filsafat adalah berpikir secara rasional.
5) Filsafat bersifat komprehensif.
Jadi berfikir filsafat mengandung makna berfikir tentang segala sesuatu
yang ada secara kritis, sistematis,tertib,rasional dan komprehensip
III. Definisi Filsafat Ilmu
Rosenberg menulis “ Philosophy deals with two sets of questions: First,
the questions that science – physical, biological, social, behavioral –.
Second, the questions about why the sciences cannot answer the first lot
of questions”. Dikatakan bahwa filsafat dibagi dalam dua buah
pertanyaan utama, pertanyaan pertama adalah persoalan tentang ilmu
(fisika,biologi, social dan budaya) dan yang kedua adalah persoalan
tentang duduk perkara ilmu yang itu tidak terjawab pada persoalan yang
pertama. Dari narasi ini ada dua buah konsep filsafat yang senantiasa
dipertanyakan yakni tentang apa dan bagaimana. Apa itu ilmu dan
bagaimana ilmu itu disusun dan dikembangkan. Ini hal sangat mendasar
dalam kajian dan diskusi ilmiah dan ilmu pengetahuan pada umumnya.yang
satu terjawab oleh filsafat dan yang kedua dijawab oleh kajian filsafat
ilmu.
Beberapa penjelasan mengenai filsafat tentang pengetahuan.
Dipertanyakanlah hal-hal misalnya : Apa itu pengetahuan? Dari mana
asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya
hipotesis atau dugaan belaka? Teori pengetahuan menjadi inti diskusi,
apa hakekat pengetahuan, apa unsur-unsur pembentuk pengetahuan,
bagaimana menyusun dan mengelompokkan pengetahuan, apa batas-batas
pengetahuan, dan juga apa saja yang menjadi sasaran dari ilmu
pengetahuan. Disinilah filsafat ilmu memfokuskan kajian dan telaahnya.
Yakni pada sebuah kerangka konseptual yang menyangkut sebuah system
pengetahuan yang di dalamnya terdapat hubungan relasional antara,
pengetahu /yang mengetahui (the Knower) dan yang terketahui /yang
diketahui (the known) dan juga antara pengamat (the observer) dengan
yang diamati (the observed).
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam
berbagai buku maupun karangan ilmiah. Filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal
yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi
dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan
integrative yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan
timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan.
Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap
saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan.
Pengetahuan lama menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. I
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan
pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam
sejumlah literatur kajian Filsafat Ilmu.
• Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of
current scientific opinions by comparison to proven past views, but such
aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual
scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu
tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan
perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari
pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu
kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the
methods of scientific thinking and tries to determine the value and
significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu
membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
• Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic
study of the nature of science, especially of its methods, its concepts
and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual
discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah
sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya
dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum
cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
• Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories,
and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific
methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan
hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode
ilmiah.)
• May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and
philosophically neutral analysis, description, and clarifications of
science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan
penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which
attempts to do for science what philosophy in general does for the whole
of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other
hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them
as grounds for belief and action; on the other, it examines critically
everything that may be offered as a ground for belief or action,
including its own theories, with a view to the elimination of
inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat,
yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan
pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di
satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta,
dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan;
di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat
disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk
teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan
kesalahan
• Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science
attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of
scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods
of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so
on and then to veluate the grounds of their validity from the points of
view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai
suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan
unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan, metode-metode
penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan
seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya
dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan
metafisika).
Dari paparan pendapat para pakar dapat disimpulkan bahwa pengertian
filsafat ilmu itu mengandung konsepsi dasar yang mencakup hal-hal
sebagai berikut:
1) sikap kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah
2) sikap sitematis berpangkal pada metode ilmiah
3) sikap analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah
4) sikap konsisten dalam bangunan teori serta tindakan ilmiah
Selanjutnya John Losee dalam bukunya yang berjudul,A Historical
Introduction to the Philosophy of Science, Fourth edition,
mengungkapkan bahwa : The philosopher of science seeks answers to such
questions as:
• What characteristics distinguish scientific inquiry from other types of investigation?
• What procedures should scientists follow in investigating nature?
• What conditions must be satisfied for a scientific explanation to be correct?
• What is the cognitive status of scientific laws and principles?
Dari ungkapan tersebut terdapat sebuah konsep bahwa tugas dari
pemikir filsafat ilmu itu untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan
persoalan yang menyangkut: pertama, apa yang menjadi perbedaaan ilmiah
karakteristik type masing – masing ilmu ntara satu ilmu dengan ilmu
lainnya melalu penelitian. Kedua Prosedur apa yang harus dilakukan
secara ilmiah dalam melakukan penelitian atas kenyataan yang terjadi di
alam?, Ketiga apa yang mestinya dilakukan dalam mendapatkan penjelasan
ilmiah untuk melakukan penelitian dan eksperimen itu ? Dan keempat
apakah teori itu dapat diambil sebagai konsep dan prinsip-prinsip
ilmiah?.
Sehingga sketsa filsafat ilmu dapat di gambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Level Disciplin Subject-matter
2 Philosophy of Science Analysis of the Procedures and Logic of Scientific Explanation
1 Science Explanation of Facts
0 Facts
Dengan memperhatikan tabel diatas secara jelas ditampilkan bahwa
filsafat ilmu menempati level ke-2 sedangkan ilmu (science) pada level
pertama dan semuanya pada satu pangkal pokok yakni fakta (kenyataan)
menjadi basis utama bangunan segala disiplin ilmu. Kalau ilmu itu
menjelaskan Fakta sementara filsafat ilmu itu subyek materinya adalah
menganalisa prosedur-prosedur logis dari ilmu (Analysis of the
Procedures and Logic of Scientific Explanation).
IV. Lingkup Filsafat Ilmu
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat
ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan
mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis
maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian
dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji
hakikat ilmu, seperti :
• Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek
tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap
manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar
mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut
kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu
kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan
epistemologis)
• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ?
(Landasan aksiologis).
Sedangkan di dalam introduction-nya Stathis Psillos and martin Curd
menjelaskan bahwa filsafat ilmu secara umum menjawab pertanyaan –
pertanyaan yang meliputi :
• apa tujuan dari ilmu dan apa itu metode ? jelasnya apakah ilmu itu
bagaimana membedakan ilmu dengan yang bukan ilmu (non science) dan juga
pseudoscience?
• bagaimana teori ilmiah dan hubungannya dengan dunia secara luas ?
bagaiman konsep teoritik itu dapat lebih bermakna dan bermanfaat
kemudian dapat dihubungkan dengan penelitian dan observasi ilmiah?
• apa saja yang membangun struktur teori dan konsep-konsep seperti
misalnya causation(sebab-akibat dan illat), eksplanasi (penjelasan),
konfirmasi, teori, eksperimen, model, reduksi dan sejumlah
probabilitas-probalitasnya?.
• apa saja aturan – aturan dalam pengembangan ilmu? Apa fungsi
eksperimen ? apakah ada kegunaan dan memiliki nilai (yang mencakup
kegunaan epistemic atau pragmatis) dalam kebijakan dan bagaimana semua
itu dihubungkan dengan kehidupan social, budaya dan factor-faktor
gender?
Dari paparan ini dipertegas bahwa filsafat ilmu itu memiliki lingkup
pembahasan yang meliputi: cakupan pembahasan landasan ontologis ilmu,
pembahasan mengenai landasan epistemologi ilmu, dan pembahasan mengenai
landasan aksiologis dari sebuah ilmu.
V. Obyek Material dan Obyek Formal Filsafat Ilmu
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material
adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi)
pembicaraan. Objek material adalah objek yang di jadikan sasaran
menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu.
Objek material filsafat illmu adalah pengetahuan itu sendiri, yakni
pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuan yang telah di
susun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat di
pertanggung jawabkan kebenarannya secara umum.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material,
yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang
kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten
dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat ilmu.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.
Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat
ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan
hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses
abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin
mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek
materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah
menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat
menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus
“ketidakpastian”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”,
“intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.
Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material
juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab
pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu
pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.
Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam
ilmu-ilmu pengetahuan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Objek formal adalah sudut pandang dari mana
sang subjek menelaah objek materialnya. Yang menyangkut asal usul,
struktur, metode, dan validitas ilmu . Objek formal filsafat ilmu
adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu lebih
menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti
apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah
dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia.
VI Problema Filsafat Ilmu
Problem filsafat Ilmu dibicarakan sejajar dengan diskusi yang berkaitan
dengan landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan ontologis,
epistemologis dan aksiologis. Untuk Telaah tentang problema substansi
Filsafat Ilmu, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau
kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika
inferensi.
Permasalahan atau problema filsafat ilmu mancakup ; pertama Problem
ontologi ilmu; perkembangan dan kebenaran ilmu sesungguhnya bertumpu
pada landasan ontologis (‘apa yang terjadi’ – eksistensi suatu
entitas) Kedua, Problem epistemologi; adalah bahasan tentang asal
muasal, sifat alami, batasan (konsep), asumsi, landasan berfikir,
validitas, reliabilitas sampai soal kebenaran (bagaimana ilmu
diturunkan – metoda untuk menghasilkan kebenaran) Ketiga, Problem
aksiologi; implikasi etis, aspek estetis, pemaparan serta
penafsiran mengenai peranan (manfaat) ilmu dalam peradaban
manusia. Ketiganya digunakan sebagai landasan penelaahan ilmu
VII. Fungsi dan Manfaat Filsafat Ilmu
Cara kerja filsafat ilmu memiliki pola dan model-model yang spesifik
dalam menggali dan meneliti dalam menggali pengetahuan melalui sebab
musabab pertama dari gejala ilmu pengetahuan. Di dalamnya mencakup paham
tentang kepastian , kebenaran, dan obyektifitas. Cara kerjanya bertitik
tolak pada gejala – gejala pengetahuan mengadakan reduksi ke arah
intuisi para ilmuwan, sehingga kegiatan ilmu – ilmu itu dapat dimengerti
sesuai dengan kekhasannya masing-masing disinilah akhirnya kita dapat
mengerti fungsi dari filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena
itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi
filsafat secara keseluruhan, yakni :
• Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
• Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
• Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
• Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
• Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai
aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan
sebagainya.
Jadi, Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik
dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan
membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan
pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai
confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif
antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni
berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara
sederhana. Manfaat lain mengkaji filsafat ilmu adalah
• Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
• Kritis terhadap aktivitas ilmu/keilmuan
• Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu
terus-menerus sehingga ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar
(metode dan struktur ilmu)
• Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional
• Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid
• Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)
VII. KESIMPULAN
1. Hakekat Filsafat
• Secara bahasa Philo/philia/philare yang artinya cinta, ingin, senang
dan kata Sophia/sophos yang artinya ilmu, kebijaksanaan atau
pengetahuan. Jadi idzofahnya menjadi filsafat/falsafah/filosofi yang
artinya mencintai kebijaksanan pengetahuan dan kenginan yang kuat akan
ilmu pengetahuan. Jadi berfikir filsafat mengandung makna berfikir
tentang segala sesuatu yang ada secara kritis,
sistematis,tertib,rasional dan komprehensip
2. Hakikat Filsafat Ilmu
a. Pengertian Filsafat Ilmu
• merupakan cabang dari filsafat yang secara sistematis menelaah
sifat dasar ilmu, khususnya mengenai metoda, konsep- konsep, dan
praanggapan-pra-anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari
cabang-cabang pengetahuan intelektual.
• filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang
ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya di atas
ilmu lainnya. Dalam menyelesaikan kajiannya pada konsep ontologis.
,secara epistemologis dan tinjauan ilmu secara aksiologis.
b. Karakteristik filsafat ilmu
• Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat.
• Filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu secara filosofis dari
berbagai sudut pandang dengan sikap kritis dan evaluatif terhadap
kriteria-kriteria ilmiah, sitematis berpangkal pada metode ilmiah ,
analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah dan sikap
konsisten dalam membangun teori serta tindakan ilmiah
3. Objek filsafat ilmu
• Objek material filsafat ilmu adalah ilmu dengan segala gejalanya manusia untuk tahu.
• Objek formal filsafat ilmu adalah ilmu atas dasar tinjauan
filosofis, yaitu secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis dengan
berbagai gejala dan upaya pendekatannya.
4. Lingkup dan problema substansi filsafat ilmu
• Cakupannya pembahasan tentang problema substansi landasan ontologis
ilmu, epistemologi ilmu, dan pembahasan mengenai landasan aksiologis
dari sebuah ilmu.
5. Manfaat mempelajari filsafat ilmu
• Semakin kritis dalam sikap ilmiah dan aktivitas ilmu/keilmuan
• Menambah pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan
pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran
dan penelitian ilmiah.
• Memecahkan masalah dan menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
• Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
• Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu
terus-menerus sehingga ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar
(metode dan struktur ilmu)
• Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional
• Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid
• Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)
SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT :
SUATU PENGANTAR KEARAH FILSAFAT ILMU
1. Sejarah Perkembangan Pemikiran Yunani Kuno: Dari Mitos ke Logos
Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani
Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran
dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat. Dalam
tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni
tradisi: (1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2)
Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini), dan (3) Sejarah
Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).
Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah
Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu
(scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam
tradisi Sejarah Filsafat India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah
Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak periodesasi awal sudah
memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda. Pada
tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan
perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan
cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan
kelak keselamatan sesudah kematian.
Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi
awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa
itu sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang
dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché,
sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah
sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM
berpendapat “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama
penting lain pada periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan
Parmenides (515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu
itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah
terus-menerus/perubahan sedangkan Parmenides menyatakan bahwa segala
sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak berubah).
Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala
sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan
itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang
menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang
yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui
berpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara
terus-menerus.
Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk
segala sesuatu (arche), itulah momentum awal sejarah yang telah
membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran
manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode
berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut
dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat).
Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio
dan logika (konsekuensi). Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan
para filsuf tadi masih bersifat spekulatif dalam arti masih belum
dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi)
melalui observasi maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris),
tetapi prosedur berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk
berpikir sebab-akibat secara rasional itulah yang patut dicatat sebagai
suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat
inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah).
Singkatnya, hukum ilmiah atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek
material utama dari ilmu pengetahuan. Demikian pula kelak dengan tradisi
melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen secara
berulangkali dihasilkan teori ilmiah.
Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada
masa Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles
(384-322 SM). Sokrates sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan
karya tulis satupun dari hasil pemikirannya, tetapi
pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung banyak dikemukakan dalam
tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan
dalam karya muridnya Plato. Filsafat Plato dikenal sebagai ideal (isme)
dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau
bayang-bayang/bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh
karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. Filsafat Plato juga
merupakan jalan tengah dari ajaran Herakleitos dan Parmenides. Dunia
“ide” itulah yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan kenyataan yang
dapat diobservasi sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya
lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi,
antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi
dan filsafat alam.
Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering
tidak setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato).
Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana
yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada
kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang
tidak dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”).
Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau
dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan
bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi,
artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah
tujuan (finalis) dari materi. Aristoteles menulis banyak bidang,
meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam.
Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada
perkembangan ilmu pengetahuan
2. Jaman Patristik dan Skolastik: Filsafat Dalam dan Untuk Agama
Pada jaman ini dikenal sebagai Abad Pertengahan (400-1500 ). Filsafat
pada abad ini dikuasai dengan pemikiran keagamaan (Kristiani). Puncak
filsafat Kristiani ini adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa Gereja)
dan Skolastik Patristik sendiri dibagi atas Patristik Yunani (atau
Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik Barat). Tokoh-tokoh
Patristik Yunani ini anatara lain Clemens dari Alexandria (150-215),
Origenes (185-254), Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius
(330-379). Tokoh-tokoh dari Patristik Latin antara lain Hilarius
(315-367), Ambrosius (339-397), Hieronymus (347-420) dan Augustinus
(354-430). Ajaran-ajaran dari para Bapa Gereja ini adalah
falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini ingin memperlihatkan
bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia.
Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh dari Plotinos. Pada masa ini dapat
dikatakan era filsafat yang berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk
dogma agama.
Jaman Skolastik (sekitar tahun 1000), pengaruh Plotinus diambil alih oleh Aristoteles.
Pemikiran-pemikiran Ariestoteles kembali dikenal dalam karya beberapa
filsuf Yahudi maupun Islam, terutama melalui Avicena (Ibn. Sina,
980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204).
Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia (Aristoteles) disebut
sebagai “Sang Filsuf” sedangkan Averroes yang banyak membahas karya
Aristoteles dijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan pemikiran
Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan filsuf penting sebagian
besar dari ordo baru yang lahir pada masa Abad Pertengahan, yaitu, dari
ordo Dominikan dan Fransiskan.. Filsafatnya disebut “Skolastik” (Lt.
“scholasticus”, “guru”), karena pada periode ini filsafat diajarkan
dalam sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu
kurikulum yang baku dan bersifat internasional. Inti ajaran ini bertema
pokok bahwa ada hubungan antara iman dengan akal budi. Pada masa ini
filsafat mulai ambil jarak dengan agama, dengan melihat sebagai suatu
kesetaraan antara satu dengan yang lain (Agama dengan Filsafat) bukan
yang satu “mengabdi” terhadap yang lain atau sebaliknya.
Sampai dengan di penghujung Abad Pertengahan sebagai abad yang kurang
kondusif terhadap perkembangan ilmu, dapatlah diingat dengan nasib
seorang astronom berkebangsaan Polandia N. Copernicus yang dihukum
kurungan seumur hidup oleh otoritas Gereja, ketika mengemukakan
temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa adalah matahari
(Heleosentrisme). Teori ini dianggap oleh otoritas Gereja sebagai
bertentangan dengan teori geosentrisme (Bumi sebagai pusat peredaran
benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh Ptolomeus semenjak jaman
Yunani yang justru telah mendapat “mandat” dari otoritas Gereja. Oleh
karena itu dianggap menjatuhkan kewibawaan Gereja.
3. Jaman Modern: Lahir dan Berkembangan Tradisi Ilmu Pengetahuan
Jembatan antara Abad pertengahan dan Jaman Modern adalah jaman
“Renesanse”, periode sekitar 1400-1600. Filsuf-filsuf penting dari jaman
ini adalah N. Macchiavelli (1469-1527), Th. Hobbes (1588-1679), Th.
More (1478-1535) dan Frc. Bacon (1561-1626). Pembaharuan yang sangat
bermakna pada jaman ini ((renesanse) adalah “antroposentrisme”nya.
Artinya pusat perhatian pemikiran tidak lagi kosmos seperti pada jaman
Yunani Kuno, atau Tuhan sebagaimana dalam Abad Pertengahan.
Setelah Renesanse mulailah jaman Barok, pada jaman ini tradisi
rasionalisme ditumbuh-kembangkan oleh filsuf-filsuf antara lain; R.
Descartes (1596-1650), B. Spinoza (1632-1677) dan G. Leibniz
(1646-1710). Para Filsuf tersebut di atas menekankan pentingnya
kemungkinan-kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam mengembangkan
pengetahuan manusia.
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Setelah
reformasi, renesanse dan setelah rasionalisme jaman Barok, pemikiran
manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah perkembangan
pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau “Fajar Budi”
(Ing. “Enlightenment”, Jrm. “Aufklärung”. Filsuf-filsuf pada jaman ini
disebut sebagai para “empirikus”, yang ajarannya lebih menekankan bahwa
suatu pengetahuan adalah mungkin karena adanya pengalaman indrawi
manusia (Lt. “empeira”, “pengalaman”). Para empirikus besar Inggris
antara lain J. Locke (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753) dan D. Hume
(1711-1776). Di Perancis JJ. Rousseau (1712-1778) dan di Jerman Immanuel
Kant (1724-1804)
Secara khusus ingin dikemukakan disini adalah peranan filsuf Jerman
Immanuel Kant, yang dapat dianggap sebagai inspirator dan sekaligus
sebagai peletak dasar fondasi ilmu, yakni dengan “mendamaikan”
pertentangan epistemologik pengetahuan antara kaum rasionalisme versus
kaum empirisme. Immanuel Kant dalam karyanya utamanya yang terkenal
terbit tahun 1781 yang berjudul Kritik der reinen vernunft (Ing.
Critique of Pure Reason), memberi arah baru mengenai filsafat
pengetahuan.
Dalam bukunya itu Kant memperkenalkan suatu konsepsi baru tentang
pengetahuan. Pada dasarnya dia tidak mengingkari kebenaran pengetahuan
yang dikemukakan oleh kaum rasionalisme maupun empirisme, yang salah
apabila masing-masing dari keduanya mengkalim secara ekstrim pendapatnya
dan menolak pendapat yang lainnya. Dengan kata lain memang pengetahuan
dihimpun setelah melalui (aposteriori) sistem penginderaan (sensory
system) manusia, tetapi tanpa pikiran murni (a priori) yang aktif
tidaklah mungkin tanpa kategorisasi dan penataan dari rasio manusia.
Menurut Kant, empirisme mengandung kelemahan karena anggapan bahwa
pengetahuan yang dimiliki manusia hanya lah rekaman kesan-kesan
(impresi) dari pengalamannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia
merupakan hasil sintesis antara yang apriori (yang sudah ada dalam
kesadaran dan pikiran manusia) dengan impresi yang diperoleh dari
pengalaman. Bagi Kant yang terpenting bagaimana pikiran manusia mamahami
dan menafsirkan apa yang direkam secara empirikal, bukan bagaimana
kenyataan itu tampil sebagai benda itu sendiri
4. Masa Kini: Suatu Peneguhan Ilmu Yang Otonom
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas perkembangan pemikiran
filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran besar: rasionalisme,
empirisme dan idealisme dengan mempertahankan wilayah-wilayah yang luas.
Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan abad kedelapan
belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak
bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya
lebih tertentu. Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang
lebih bebas dari corak spekulasi filsafati dan otonom. Aliran-aliran
tersebut antara laian: positivisme, marxisme, eksistensialisme,
pragmatisme, neo-kantianisme, neo-tomisme dan fenomenologi.
Berkaitan dengan filosofi penelitian Ilmu Sosial, aliran yang tidak
bisa dilewatkan adalah positivisme yang digagas oleh filsuf A. Comte
(1798-1857). Menurut Comte pemikiran manusia dapat dibagi kedalam tiga
tahap/fase, yaitu tahap: (1) teologis, (2) Metafisis, dan (3)
Positif-ilmiah. Bagi era manusia dewasa (modern) ini pengetahuan hanya
mungkin dengan menerapkan metode-metode positif ilmiah, artinya setiap
pemikiran hanya benar secara ilmiah bilamana dapat diuji dan dibuktikan
dengan pengukuran-pengukuran yang jelas dan pasti sebagaimana berat,
luas dan isi suatu benda. Dengan demikian Comte menolak spekulasi
“metafisik”, dan oleh karena itu ilmu sosial yang digagas olehnya ketika
itu dinamakan “Fisika Sosial” sebelum dikenal sekarang sebagai
“Sosiologi”. Bisa dipahami, karena pada masa itu ilmu-ilmu alam (Natural
sciences) sudah lebih “mantap” dan “mapan”, sehingga banyak pendekatan
dan metode-metode ilmu-ilmu alam yang diambil-oper oleh ilmu-ilmu sosial
(Social sciences) yang berkembang sesudahnya.
Pada periode terkini (kontemporer) setelah aliran-aliran sebagaimana
disebut di atas munculah aliran-aliran filsafat, misalnya :
“Strukturalisme” dan “Postmodernisme”. Strukturalisme dengan
tokoh-tokohnya misalnya Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault.
Tokoh-tokoh Postmodernisme antara lain. J. Habermas, J. Derida. Kini
oleh para epistemolog (ataupun dari kalangan sosiologi pengetahuan)
dalam perkembangannya kemudian, struktur ilmu pengetahuan semakin lebih
sistematik dan lebih lengkap (dilengkapi dengan, teori, logika dan
metode sain), sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter L.Wallace dalam
bukunya The Logic of Science in Sociology. Dari struktur ilmu tersebut
tidak lain hendak dikatakan bahwa kegiatan keilmuan/ilmiah itu tidak
lain adalah penelitian (search dan research). Demikian pula hal ada dan
keberadaan (ontologi/metafisika) suatu ilmu /sain berkaitan dengan watak
dan sifat-sifat dari obyek suatu ilmu /sain dan kegunaan/manfaat atau
implikasi (aksiologi) ilmu /sain juga menjadi bahasan dalam filsafat
ilmu. Setidak-tidaknya hasil pembahasan kefilsafatan tentang ilmu
(Filsafat Ilmu) dapat memberikan perspektif kritis bagi ilmu /sain
dengan mempersoalkan kembali apa itu:pengetahuan?, kebenaran?, metode
ilmiah/keilmuan?, pengujian/verifikasi? dan sebaliknya hasil-hasil
terkini dari ilmu /sain dan penerapannya dapat memberikan umpan-balik
bagi Filsafat Ilmu sebagai bahan refleksi kritis dalam pokok bahasannya
(survey of sciences) sebagaimana yang dikemukakan oleh Whitehead dalam
bukunya Science and the Modern World (dalam Hamersma, 1981:48)
Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna filsafat karena
pengertiannya yang begitu luas dan abstrak. Tetapi secara sederhana
filsafat dapat dimaknai bersama sebagai suatu sistim nilai-nilai
(systems of values) yang luhur yang dapat menjadi pegangan atau anutan
setiap individu, atau keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau
masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara tertentu.
Pendidikan sebagai upaya terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk
mentransmisikan kebudayaan dalam arti luas (ilmu pengetahuan, sikap,
moral dan nilai-nilai hidup dan kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu
generasi ke generasi lain. Adapun visi, misi dan tujuannya yang ingin
dicapai semuanya berlandaskan suatu filsafat tertentu. Bagi kita sebagai
bangsa dalam suatu negara bangsa (nation state) yang merdeka,
pendidikan kita niscaya dilandasi oleh filsafat hidup yang kita sepakati
dan anut bersama.
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa
(nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state
formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman,
pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi
utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai
(systems of values) yang memberi warna dan menjadi “semangat zaman”
(zeitgeist) yang dianut oleh setiap individu, keluarga, anggota¬-anggota
komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan
negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui
kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.
Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad
ke-19 dan ke-20 perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari
dan digunakan untuk maksud-maksud lebih lanjut yang bermacam-macam, a.l.
untuk membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan kesatuan
kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan
terhadap lembaga¬-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver,
1985: 2266).
Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam
tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran
dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim
pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam
hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial
atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi,
dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah
Pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial.
(Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)
Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan
(transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan
nilai-nilai spiritual serta (estetika) dari generasi yang lebih tua
kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa.
Oleh sebab itu sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama
tuanya dengan masyarakat pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan
informal dalam keluarga batih, sampai kepada pendidikan formal dan
non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri.
Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau
“tradisional” yang umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada
sejarah dari ide¬-ide dan pemikir-pemikir besar dalam pendidikan, atau
sejarah dan sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau sejarah
perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver,
1985: 2266) Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis,
sempit serta terlalu melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman
dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul
atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah
Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan
pendidikan kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)
Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan
timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara
pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang
merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk
dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun
horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang
dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan terutama oleh
masyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan menengah yang
menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau
kesenjangan dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan
yang hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang kaya dengan pendidikan
terminal dari anak-¬anak yang orang tuanya tidak mampu; komersialisasi
pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya
menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang
lebih baik danipada sebelumnya untuk menangani semua masalah
kependidikan ini.
Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan baru tidak
cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis
yang baru yaitu a.l, interdisiplin. Dalam pendekatan interdisiplin
dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis
ilmu-ihmu sosial. Sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti
antropologi, sosiologi, dan politik telah memasuki “perbatasan”
(sejarah) pendidikan dengan “ilmu-ilmu terapan” yang disebut antropologi
pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam
pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan
dialogis “simbiose mutualistis” antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.
Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk relatif
baru. Pada zaman pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian yang
diajarkan secara diakronis sejak dari sistem-sistem pendidikan zaman
Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19.
Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah
Indonesia merdeka model diakronis ini masih terus dilanjutkan sampai
sekarang.
Perkuliahan dilakukan dengan pendekatan interdisiplm (diakronik
dan/atau sinkronik). Untuk Sejarah Pendidikan Indonesia mutakhir,
substansinya seluruh spektrum pendidikan yang secara temporal pernah
berlaku dan masih berlaku di Indonesia; hubungan antara kebijakan
pendidikan dengan politik nasional pemerintah, termasuk kebijakan
penyusunan dan perubahan kurikulum dengan segala aspeknya yang
menyertainya; lembaga-lembaga pendidikan (pemerintah maupun swasta);
pendidikan formal dan non-formal; pendidikan umum, khusus dan agama.
Singkatnya segala macam makalah yang dihadapi oleh pendidikan di
Indonesia dahulu dan sekarang dan melihat prosepeknya ke masa depan.
Sejarah sebagai kajian reflektif dapat dimanfaatkan untuk melihat
prosepek ke depan meskipun tidak punya pretensi meramal. Dalam setiap
bahasan dicoba dilihat filosofi yang melatarinya.
FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa
pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar
filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya
antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat
berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha
untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu
konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep
tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan
serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas
dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah;
macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan;
serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan
terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
A. Konsep dan pernyataan ilmiah
Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan
bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi
di alam. Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti dari eksperimen,
deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan
individual di dalam suatu masyarakat.
1. Empirisme
Salah satu konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme, atau
ketergantungan pada bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu
pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alami selama hidup
kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari
pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji
dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi.
Setelah pengamatan dan eksperimentasi ini dapat selalu diulang dan
mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti
yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan
untuk menjelaskan fenomena alam.
2. Falsifiabilitas
Salah satu cara yang digunakan untuk membedakan antara ilmu dan bukan
ilmu adalah konsep falsifiabilitas. Konsep ini digagas oleh Karl Popper
pada tahun 1919-20 dan kemudian dikembangkan lagi pada tahun 1960-an.
Prinsip dasar dari konsep ini adalah, sebuah pernyataan ilmiah harus
memiliki metode yang jelas yang dapat digunakan untuk membantah atau
menguji teori tersebut. Misalkan dengan mendefinisikan kejadian atau
fenomena apa yang tidak mungkin terjadi jika pernyataan ilmiah tersebut
memang benar.
A. Pengertian Filsafat Ilmu
B. Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan
pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam
Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
• Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of
current scientific opinions by comparison to proven past views, but such
aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual
scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu
tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan
perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari
pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu
kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the
methods of scientific thinking and tries to determine the value and
significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu
membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
• A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the
systematic study of the nature of science, especially of its methods,
its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of
intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan
telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya,
konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam
kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
• Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories,
and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific
methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan
hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode
ilmiah.)
• May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and
philosophically neutral analysis, description, and clarifications of
science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan
penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which
attempts to do for science what philosophy in general does for the whole
of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other
hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them
as grounds for belief and action; on the other, it examines critically
everything that may be offered as a ground for belief or action,
including its own theories, with a view to the elimination of
inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat,
yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan
pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di
satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta,
dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan;
di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat
disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk
teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan
kesalahan
• Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science
attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of
scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods
of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so
on and then to veluate the grounds of their validity from the points of
view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai
suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan
unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode
penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan
seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya
dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan
metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat
ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan
mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis
maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian
dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji
hakikat ilmu, seperti :
• Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek
tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap
manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar
mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut
kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu
kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan
epistemologis)
• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ?
(Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
B. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena
itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi
filsafat secara keseluruhan, yakni :
• Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
• Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
• Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
• Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
• Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai
aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan
sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk
memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori
sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori
ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua
fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya
mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan
theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil
ataupun besar secara sederhana.
C.Substansi Filsafat Ilmu
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya
dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta
atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika
inferensi.
1.Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
• Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
• Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian
kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu
adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah
koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
• Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
• Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
• Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta
obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau
bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis
manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta
obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah
deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan
dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis
itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang
diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk
suatu deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun
secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi,
korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara,
Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu :
kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif,
kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir
menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun;
2001)
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara
sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi
dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai.
Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran
transendental.
b.Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya
sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan
dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta
dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini,
yang sifatnya spesifik
c.Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan
menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik,
maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual.
Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d.Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
e.Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks,
yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif.
Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam
logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan
persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides,
bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan
dilihat dari benar materialnya.
f.Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan
perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis
regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih
dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal
semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai,
karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih
menyeluruh.
3.Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan
datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan
sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi
absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah
dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan
postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan
untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif,
deduktif, ataupun reflektif.
4.Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX
adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik
menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel
menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief
pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada
skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian
berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara
rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan
Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral.
Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik
rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik
dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral
transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa
penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan
tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika.
Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika
induksi dan logika deduksi.
D. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
• Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu :
(1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
• Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi
means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai
kepanjangan ide manusia.
• Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan
sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif
dan produk alasan praktis.
Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan
logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral.
Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan
produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human.manusiawi, tidak
mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak
merusak lingkungan.
http://getuk.wordpress.com/2006/11/16/ruang-lingkup-filsafat-ilmu
PEMBAGIAN PENGETAHUAN
Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak
ada yang memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim
dipakai dalam dunia keilmuan di Barat terbagi menjadi dua saja, sains
(pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah
ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social
sciences), dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam
humaniora adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat,
agama, seni, bahasa, dan sejarah.
Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora
sebenarnya menyisakan banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di
antara pengetahuan-pengetahuan itu, baik dari segi ontologi,
epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya barangkali terletak pada
perbedaannya, atau barangkali sekadar pada fakta bahwa
pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan sebagai
sains. Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari
kata Inggris humanities, berarti (segala pengetahuan yang) berkaitan
dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi kalau demikian, maka ilmu-ilmu
sosial pun layak dimasukkan ke dalam humaniora karena sama-sama
berkaitan dengan kemanusiaan.
Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat
cenderung menolak kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora dan
ilmu sosial) yang ketat. Pemahaman kita akan suatu permasalahan tidak
cukup mengandalkan analisis satu ilmu saja. Oleh karena itu muncullah
gagasan pendekatan interdisiplin atau multidisplin dalam memahami suatu
permasalahan. Bidang-bidang kajian yang ada di perguruan
tinggi-perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya berdasarkan jenis-jenis
keilmuan tradisional, tetapi pada satu tema yang didekati dari gabungan
berbagai disiplin. Misalnya program studi Timur Tengah, studi Asia
Tenggara, studi-studi keislaman (Islamic studies), studi budaya
(cultural studies), dll.
Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati
dari berbagai macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih
komprehensif. Wilayah-wilayah geografis tertentu, misalnya Jawa, suku
Papua, pedalaman Kalimantan, atau Maroko dan Indian, yang dahulu
dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami dengan menggunakan
berbagai macam disiplin (sosiologi, psikologi, semiotik, bahkan
filsafat).
Pendekatan interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian
keislaman, termasuk dalam fikih. Untuk menentukan status hukum terutama
dalam permasalahan kontemporer, pemakaian ilmu fikih murni tidak lagi
memadai. Apalagi jika fikih dimengerti sebagai fikih warisan zaman
mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern saat ini menuntut untuk lebih banyak
dilibatkan dalam penentuan hukum suatu masalah. Sekadar contoh, untuk
menentukan hukum pembuatan bayi tabung, diperlukan pemahaman akan
biologi dan kedokteran. Untuk menghukumi soal berbisnis di bursa saham,
ilmu ekonomi harus dipahami. Dll.
TIGA ASPEK PENGETAHUAN
Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi
Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi
membahas pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah
pengetahuan? Adakah objek tersebut? Bagaimana wujud hakikinya? Dapatkah
objek tersebut diketahui oleh manusia, dan bagaimana caranya?
Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk
mendapatkan pengetahuan. Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan
seperti: bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya suatu
pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan
agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar itu sendiri
apa? Kriterianya apa saja?
Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi
menjawab pertanyaan-pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu
digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan tersebut
dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara metode
pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional?
Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti
dicirikan oleh perbedaan dalam ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi
objek dari dua pengetahuan sama, tetapi metode dan penggunaannya
berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan dalam hal objek
(sama-sama membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb), tetapi
metode keduanya jelas beda. Sementara perbedaan antar sains terutama
terletak pada objeknya, sedangkan metodenya sama.
SUMBER PENGETAHUAN
Indera
Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di
sekitar kita. Indera ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima
(panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang memungkinkan kita
mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera pendengaran
(telinga) yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera
penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa
(lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan tidak enak;
dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu
lingkungan dan kontur suatu benda.
Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan
terukur. Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber
pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan,
menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya John
Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan
pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan mengatakan indera
adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, dan
pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.
Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak
mencukupi. Dalam banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak
sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam
air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat
lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu
lemah atau terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat
indera kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian
sulitlah kita mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar.
Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat
di dalam kepala, yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada
pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa pensil dalam air itu
tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit.
Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi
atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus. Akal
bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus mengaitkannya
dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam,
kucing garong, atau kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat
kategori-kategori atau ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat
bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu
itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara
lain substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau
masuk akal. Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya,
atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes
(1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan
yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan menipu.
Hati atau Intuisi
Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak
diketahui dengan pasti; ada yang menyebut jantung, ada juga yang
menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa
pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui
proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis.
Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai
maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita
tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur,
saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi
hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke
sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya sudah
berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah
memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia
mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat
itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering
disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio,
dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun
menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni
pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh
kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804),
membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang
sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya
bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati
bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun,
tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan)
dan spatialisasi (meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti
keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami
pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni
pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat
konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang
merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di
pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat
berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan
dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman
menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya
dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim
memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi
al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi
(iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat,
intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah
pemberitahuan langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya
dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir Muslim ada yang
menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis
intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa
memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran
empirisisme dan rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih
memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan
ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat
terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme,
‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah
perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas
tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai
kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim
atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status
ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih
sahih daripada rasio.
LOGIKA
Logika adalah cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan yang benar.
Aristoteles (384-322 SM) adalah pembangun logika yang pertama. Logika
Aristoteles ini, menurut Immanuel Kant, 21 abad kemudian, tidak
mengalami perubahan sedikit pun, baik penambahan maupun pengurangan.
Aristoteles memerkenalkan dua bentuk logika yang sekarang kita kenal
dengan istilah deduksi dan induksi. Logika deduksi, dikenal juga dengan
nama silogisme, adalah menarik kesimpulan dari pernyataan umum atas hal
yang khusus. Contoh terkenal dari silogisme adalah:
- Semua manusia akan mati (pernyataan umum, premis mayor)
- Isnur manusia (pernyataan antara, premis minor)
- Isnur akan mati (kesimpulan, konklusi)
Logika induksi adalah kebalikan dari deduksi, yaitu menarik kesimpulan
dari pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus menuju pernyataan umum.
Contoh:
- Isnur adalah manusia, dan ia mati (pernyataan khusus)
- Muhammad, Asep, dll adalah manusia, dan semuanya mati (pernyataan antara)
- Semua manusia akan mati (kesimpulan)
TEORI-TEORI KEBENARAN
Korespondensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta atau
kenyataan. Contoh pernyataan “bentuk air selalu sesuai dengan ruang yang
ditempatinya”, adalah benar karena kenyataannya demikian. “Kota Jakarta
ada di pulau Jawa” adalah benar karena sesuai dengan fakta (bisa
dilihat di peta). Korespondensi memakai logika induksi.
Koherensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila konsisten dengan pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. Contoh pernyataan “Asep akan mati”
sesuai (koheren) dengan pernyataan sebelumnya bahwa “semua manusia akan
mati” dan “Asep adalah manusia”. Terlihat di sini, logika yang dipakai
dalam koherensi adalah logika deduksi.
Pragmatik
Sebuah pernyataan dikatakan benar jika berguna (fungsional) dalam
situasi praktis. Kebenaran pragmatik dapat menjadi titik pertemuan
antara koherensi dan korespondensi. Jika ada dua teori keilmuan yang
sudah memenuhi kriteria dua teori kebenaran di atas, maka yang diambil
adalah teori yang lebih mudah dipraktikkan. Agama dan seni bisa cocok
jika diukur dengan teori kebenaran ini. Agama, dengan satu pernyataannya
misalnya “Tuhan ada”, adalah benar secara pragmatik (adanya Tuhan
berguna untuk menopang nilai-nilai hidup manusia dan menjadikannya
teratur), lepas dari apakah Tuhan ada itu sesuai dengan fakta atau
tidak, konsisten dengan pernyataan sebelumnya atau tidak.
***
Setelah mengemukakan hal-hal penting yang menjadi dasar pengetahuan,
berikutnya kita akan meninjau aspek ontologis, epistemologis, dan
aksiologis dari tiga macam pengetahuan yang paling berpengaruh dalam
kehidupan manusia, yakni filsafat, agama, dan sains.
FILSAFAT
Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini
tidak salah karena ilmu-ilmu yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun
ilmu sosial, mulanya berada dalam kajian filsafat. Pada zaman dulu
tidak dibedakan antara ilmuwan dengan filosof. Isaac Newton (1642-1627)
menulis hukum-hukum fisikanya dalam buku yang berjudul Philosophie
Naturalis Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-1790)
bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam
kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas
Glasgow. Kita juga mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran
yang menyusun ensiklopedi besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus sebagai
filosof yang mengarang Kitab al-Syifa’.
Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri
berbeda-beda dalam merumuskannya. Cukup di sini disinggung mengenai
ciri-ciri dari filsafat, sebagaimana diuraikan Suriasumantri (1998),
yaitu menyeluruh (membahas segala hal atau satu hal dalam kaitannya
dengan hal-hal lain), radikal (meneliti sesuatu secara mendalam,
mendasar hingga ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai
penyelidikannya dari titik yang ditentukan begitu saja secara apriori).
Spekulatif juga bermakna rasional.
Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak terbatas.
Filsafat memelajari segala realitas yang ada dan mungkin ada; lebih luas
lagi, segala hal yang mungkin dipikirkan oleh akal. Sejauh ini,
terdapat tiga realitas besar yang dikaji filsafat, yakni Tuhan
(metakosmos), manusia (mikrokosmos), dan alam (makrokosmos). Sebagian
objek filsafat telah diambil-alih oleh sains, yakni objek-objek yang
bersifat empiris.
Objek-objek kajian filsafat yang luas itu coba dikelompokkan oleh para
ahli ke dalam beberapa bidang. Berbeda-beda hasil pembagian mereka.
Jujun Suriasumantri (1998) membagi bidang kajian filsafat itu ke dalam
empat bagian besar, yakni logika (membahas apa yang disebut benar dan
apa yang disebut salah), etika (membahas perihal baik dan buruk),
estetika (membahas perihal indah dan jelek), dan metafisika (membahas
perihal hakikat keberadaan zat atau sesuatu di balik yang fisik). Empat
bagian ini bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali. Hampir tiap ilmu
yang dikenal sekarang ada filsafatnya, misalnya filsafat ilmu, filsafat
ekonomi, filsafat hukum, filsafat pendidikan, dan filsafat sejarah.
Epistemologi filsafat adalah rasional murni (bedakan dengan
rasionalisme). Artinya pengetahuan yang disebut filsafat diperoleh
semata-mata lewat kerja akal. Sumber pengetahuan filsafat adalah rasio
atau akal. Sumber pengetahuan lain yang mungkin memengaruhi pikiran
seorang filosof ditekan seminimal mungkin, dan kalau bisa hingga ke
titik nol. Atau pengetahuan-pengetahuan itu diverifikasi oleh akalnya,
apakah rasional atau tidak. Misalnya seorang filosof yang beragama Islam
tentu telah memeroleh pengetahuan dari ajaran agamanya. Dalam hal ini
ada dua hal yang bisa ia lakukan: menolak ajaran agama yang menurutnya
tidak rasional, atau mencari pembenaran rasional bagi ajaran agama yang
tampaknya tidak rasional.
Filsafat bertujuan untuk mencari Kebenaran (dengan K besar), artinya
kebenaran yang sungguh-sungguh benar, kebenaran akhir. Sifat aksiologis
filsafat ini tampak dari asal katanya philos (cinta) dan sophia
(pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran). Seorang filosof tidak akan
berhenti pada pengetahuan yang tampak benar, melainkan menyelidiki
hingga ke baliknya. Ia tidak akan puas jika dalam pemikirannya masih
terdapat kontradiksi-kontradiksi, kesalahan-kesalahan berpikir, meskipun
dalam kenyataannya tidak ada seorang filosof pun yang filsafatnya bebas
dari kontradiksi. Dengan kata lain, tidak ada filosof yang berhasil
sampai pada Kebenaran atau kebenaran akhir itu. Semuanya hanya bisa
disebut mendekati Kebenaran.
Kebenaran yang diperoleh dari filsafat itu sebagian ada yang berkembang
menjadi ajaran hidup, isme. Filsafat yang sudah menjadi isme ini
difungsikan oleh penganutnya sebagai sumber nilai yang menopang
kehidupannya. Misalnya ajaran Aristotelianisme banyak dipakai oleh kaum
agamawan gereja; ajaran neoplatonisme banyak dipakai oleh kaum mistik;
materialisme, komunisme, dan eksistensialisme bahkan sempat menjadi
semacam padanan agama (the religion equivalen), yang berfungsi layaknya
agama formal.
AGAMA
Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak
hal hampir sama dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis.
Seperti filsafat, agama juga membahas Tuhan, manusia, dan alam. Seperti
filsafat, agama juga menyoal metafisika, namun jawabannya sudah jelas:
hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok dari
agama adalah etika khususnya yang bersifat praktis sehari-hari.
Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau
metodenya. Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan
kepada Nabi, dan kita memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi
benar. Pada agama, yang harus kita lakukan adalah beriman, baru
berpikir. Kita boleh memertanyakan kebenaran agama, setelah menerima dan
memercayainya, dengan cara lain (rasional atau empiris). Tapi
ujung-ujungnya kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan
agama itu tidak masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan.
Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau
bertentangan dengan jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang
keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi. Jika ia beragama,
biasanya ia cenderung mendamaikan agama dengan filsafat, seperti tampak
pada filsafat skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen, maupun Islam.
Jika ia tidak beragama, biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan
dengan agama.
Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi
utama agama adalah sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan pegangan
dalam hidup budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi atau arah
dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan makna dan menjauhkan
manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu
terutama bersumber dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan
setelah mati. (Coba perhatikan, dalam Alquran, objek iman yang paling
banyak disebut bahkan selalu disebut beriringan adalah iman kepada Allah
dan hari kemudian).
SAINS
Ontologi
Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau
pengetahuan ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized
knowledge) secara sistematis dan diperoleh melalui metode ilmiah
(scientific method). Sains memelajari segala sesuatu sepanjang masih
berada dalam lingkup pengalaman empiris manusia.
Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material
terbatas jumlahnya dan satu atau lebih sains bisa memiliki objek
material yang sama. Sains dibedakan satu sama lain berdasarkan objek
formalnya. Sosiologi dan antropologi memiliki objek material yang sama,
yakni masyarakat. Namun objek formalnya beda. Sosiologi memelajari
struktur dan dinamika masyarakat, antropologi memelajari masyarakat
dalam budaya tertentu.
Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu
ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social
sciences). Ilmu-ilmu alam memelajari benda-benda fisik, dan secara garis
besar dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ilmu alam (fisika, kimia,
astronomi, geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi, anatomi, botani,
zoologi, dll). Tiap-tiap cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi
banyak sekali. Ilmu kimia saja, menurut Jujun Suriasumantri, memiliki
150 disiplin.
Ilmu-ilmu sosial memelajari manusia dan masyarakat. Perkembangan ilmu
sosial tidak sepesat ilmu alam, dikarenakan manusia tidak seempiris
benda-benda alam, juga karena benturan antara metodologi dengan
norma-norma moral. Namun saat ini pun ilmu-ilmu sosial sudah sangat
beragam dan canggih. Yang paling utama adalah sosiologi, antropologi,
psikologi, ekonomi, dan politik.
Epistemologi
Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa
diterjemahkan menjadi metode ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan
rasionalisme dan empirisisme, kekuatan logika deduksi dan induksi,
serta mencakup teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatik.
Karena penggabungan ini, sains memenuhi sifat rasional sekaligus
empiris. Sains juga bersifat sistematis karena disusun dan diperoleh
lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum positivis, sains juga bersifat
objektif, artinya berlaku di semua tempat dan bagi setiap pengamat.
Namun sejak munculnya teori relativitas Einstein, apalagi pada masa
postmodern ini, klaim objektivitas sains tidak bisa lagi dipertahankan.
Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut:
• Menemukan dan merumuskan masalah
• Menyusun kerangka teoritis
• Membuat hipotesis
• Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
• Menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap
sahih dan bisa bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali
dalam serangkaian percobaan, baik oleh penemunya maupun oleh ilmuwan
lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian benar). Sebuah teori
bisa juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan Karl
Popper, falsifikasi (pembuktian salah). Dengan falsifikasi, jika untuk
sebuah teori dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu
menunjukkan adanya kesalahan, maka teori itu tidak perlu dipertahankan
lagi. Contoh, jika dinyatakan kepada kita bahwa semua burung gagak
hitam, dan di suatu tempat kita menemukan satu burung gagak yang tidak
hitam, berarti pernyataan itu salah.
Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah
ketiadaan salah sama sekali, karena itu sangat berat bahkan tidak
mungkin untuk teori ilmu sosial, namun seberapa besar kemungkinan teori
itu benar (probabilitas). Probabilitas benar 95 persen dianggap sudah
cukup untuk men-sahihkan sebuah teori dan memakainya untuk memecahkan
masalah.
Aksiologi
Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk
pengetahuan itu sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia
dalam memecahkan masalah sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh dengan tiga
cara, description (menjelaskan), prediction (meramal, memerkirakan),
dan controling (mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan
pada masalah praktis, teori akan memerkirakan apa yang akan terjadi.
Dari perkiraan itu, kita memersiapkan langkah-langkah yang perlu
dilakukan untuk mengontrol segala hal yang mungkin timbul, entah itu
merugikan atau menguntungkan.
Satu sisi yang sering diperdebatkan adalah menyangkut netralitas sains,
kaitannya dengan agama atau ideologi tertentu. Pada dasarnya sains itu
netral, atau setidaknya bermaksud untuk netral, dalam arti ia hanya
bermaksud menjelaskan sesuatu secara apa adanya. Tetapi sains dapat
mengilhami suatu pandangan dunia tertentu, dan ini tidak netral.
Misalnya teori evolusi Darwin dapat menjadi pandangan dunia yang
mekanistik dan ateistik. Dan hal ini sangat mencemaskan bagi kaum
agamawan.
Lahirnya suatu teori juga ternyata tidak bisa dilepaskan dari konteks
tempat teori itu dilahirkan. Konteks meliputi pandangan dunia yang
dianut ilmuwan, latar belakang budaya, bahasa, dll. Pengaruh konteks ini
terutama sangat terasa pada sains sosial sehingga suatu sains bisa
menghasilkan beragam aliran dan perspektif. []
Referensi pokok:
Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
Catatan:
Tulisan ini pada awalnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan penulis ketika
sering diundang mengisi materi Filsafat Ilmu di Latihan Kader 1 (Basic
Training) HMI.
http://bermenschool.wordpress.com/2008/12/04/epistemologi-filsafat-pengetahuan/
BAB 1
ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI
“Aku datang – entah dari mana,
aku ini – entah siapa,
aku pergi – entah kemana,
aku akan mati – entah kapan,
aku heran bahwa aku gembira”.
(Martinus dari Biberach,
tokoh abad pertengahan).
1. Manusia bertanya
Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa
yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh
panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu
banyak yang berpaling kepada agama:
“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia
yang tersembunyi sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu,
sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara
mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan apa itu
dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk
mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan
ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak
terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal dan
kepadanya kita menuju?” — Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili
Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan
Kristen, 1965.
Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap
iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur 8:
“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi!
KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya? — Namun Engkau telah
membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan
kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian,
juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,
dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”
2. Manusia berfilsafat
Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu
tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari
tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu.
Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut
pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis
dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka
lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis,
sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari
kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari
kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu
tentang seluruh kenyataan (realitas).
Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang
seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional
(fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran)
dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).
Al-Kindi (801 – 873 M) : “Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi
adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala
yang ada sejauh mungkin bagi manusia … Bagian filsafat yang paling
mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang
merupakan sebab dari segala kebenaran”.
Unsur “rasional” (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan
syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan “secara
mendasar” pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat. Disebut
“secara mendasar” karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan
dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan
sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari (“obyek material”),
yaitu “manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat”. Itulah
scientia rerum per causas ultimas — pengetahuan mengenai hal ikhwal
berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.
Karl Popper (1902-?) menulis “semua orang adalah filsuf, karena semua
mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang
berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir.
Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat
dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup
adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita
dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk
menyadari nilai dari hidup”. Mengingat berfilsafat adalah berfikir
tentang hidup, dan “berfikir” = “to think” (Inggeris) = “denken”
(Jerman), maka – menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam “berfikir”
sebenarnya kita “berterimakasih” = “to thank” (Inggeris) = “danken”
(Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang
diberikan kepada kita.
Menarik juga untuk dicatat bahwa kata “hikmat” bahasa Inggerisnya
adalah “wisdom”, dengan akar kata “wise” atau “wissen” (bahasa Jerman)
yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah “viten”, yang
memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta “vidya” yang
diindonesiakan menjadi “widya”. Kata itu dekat dengan kata “widi” dalam
“Hyang Widi” = Tuhan. Kata “vidya” pun dekat dengan kata Yunani
“idea”, yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali
terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.
Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis
abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap
jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan
pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:
Aras abstraksi pertama – fisika. Kita mulai berfikir kalau kita
mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari
pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat
dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata,
ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi
dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang
“abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika”
(“physos” = alam).
Aras abstraksi kedua – matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya,
kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi
kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti
(“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi
dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis =
pengetahuan, ilmu).
Aras abstraksi ketiga – teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat
meng-”abstrahere” dari semua materi dan berfikir tentang seluruh
kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb.
Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan.
Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh
Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”. Akan tetapi
karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi
selanjutnya disebut metafisika.
Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang
sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua
ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut
“sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan
tentang batas-batas dari kekhususannya.
3. Manusia berteologi
Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang
seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat
didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan
Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta
ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan
(misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri,
misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi
hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling
mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi
adalah berfilsafat juga.
Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap,
perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan
hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata “sama” itu) ada pada
dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi
adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara
bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan
ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan
dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran
atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan. Jika
pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud
sosial dari iman.
Catatan.
(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya
metodis, sistematis dan koheren atas kenyataan yang berupa kesadaran
akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi hidup. Dalam konteks inilah
kiranya kata akal (“‘aql”) dan kata ilmu (“‘ilm”) telah digunakan dalam
teks Al Qur’an. Kedekatan kata ‘ilm dengan kata sifat ‘alim kata ulama
kiranya juga dapat dimengerti. Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi,
“Al-Qur’an berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan”, Gema Insani
Press, 1998. Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata “ilmu”
itu dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama
dengan makna kata “ilmu” dalam teks dan konteks Al-Qur’an itu.
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana diungkapkan disini pantas
disebut sebagai pendekatan “dari bawah”. Inisiatif seakan-akan berasal
dari manusia, yang ingin menemukan hakekat hidupnya di dunia ini
dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia meniti dan
menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan “dari atas”
nyata pada agama-agama samawi: Allah mengambil inisiatif mewahyukan
kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan
manusia atas “sapaan” Allah itu.
Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia.
Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik,
dan ingin mempertanggungjawabkannya: “aku tahu kepada siapa aku
percaya” (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran
Agama. Dalam teologi, adanya unsur “intellectus quaerens fidem” (akal
menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk
integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat
bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.
4. Obyek material dan obyek formal
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek
material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi)
pembicaraan, yaitu gejala “manusia di dunia yang mengembara menuju
akhirat”. Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia,
dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi),
filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi
– filsafat ketuhanan; kata “akhirat” dalam konteks hidup beriman dapat
dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan
teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab
pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang
lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh
yang dikenal manusia dalam dunianya.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material,
yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang
kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten
dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.
Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat
ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan
hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses
abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin
mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek
materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah
menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat
menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus
“ketidakpastian”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”,
“intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.
Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material
juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab
pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu
pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.
Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam
ilmu-ilmu pengetahuan.
5. Cabang-cabang filsafat
5.1. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu
bersifat “filsafat tentang” sesuatu: tentang manusia, tentang alam,
tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama,
sejarah, … Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:
1. filsafat tentang pengetahuan:
obyek material : pengetahuan (“episteme”) dan kebenaran
epistemologi;
logika;
kritik ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:
obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
metafisika umum (ontologi);
metafisika khusus:
antropologi (tentang manusia);
kosmologi (tentang alam semesta);
teodise (tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
obyek material : kebaikan dan keindahan
etika;
estetika;
4. sejarah filsafat.
5.2. Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat
tentang pengetahuan. Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana
asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya
hipotesis atau dugaan belaka?
Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas
pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam
epistemologi. Logika (“logikos”) “berhubungan dengan pengetahuan”,
“berhubungan dengan bahasa”. Disini bahasa dimengerti sebagai cara
bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika
merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta
aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah
adanya.
Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu
yang satu berkait dengan ilmu lain. Disebut pohon karena dimengerti
pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan
teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu,
dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan.
5.3. Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak
aliran filsafat: eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme,
materialisme, … dan sebaginya.
5.4. Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati
(kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama
sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia
dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu
mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi
dasar tingkah-laku manusia. Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium
Tremendum et Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat
diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan
sikap “takut-dan-taqwa”, wedi-lan-asih ing Panjenengane.
Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat
dalam agama X, yaitu pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional
bagi ajaran agama X. Hubungan antara filsafat dengan agama X dapat
diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang
ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara
jemaah haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.
Catatan lain.
1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung es di lautan. Yang
tampak hanya sekitar sepersepuluh saja dari keseluruhannya. Karena iman
adalah suasana hati, maka berlakulah peribahasa: “dalam laut dapat
diduga, dalam hati siapa yang tahu”. Tahukah saudara akan kadar
keimanan saya?
2. Sekaligus juga patut ditanyakan “dimanakah letak hati yang
dimaksudkan disini? Pastilah “hati” itu (misalnya dalam kata “sakit
hati” jika seorang pemudi dibuat kecewa oleh sang pemuda yang menjadi
pacarnya) bukan organ hati (dan kata “sakit hati” karena liver anda
membengkak) yang diurus oleh para dokter di rumah sakit. Periksa pula
apa yang tersirat dalam kata “batin”, “kalbu”, “berhati-hatilah”,
“jantung hati”, “jatuh hati”, “hati nurani”, dan “suara hati”.
3. Menurut Paul A Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam
masyarakat. Sering ada banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna
yang sama dan ada pula banyak makna terkait dalam satu kata. Manusia
ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah
(“clearly and distinctly”), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan
miskomunikasi dan menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene
Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang dalam menghadapi persoalan
(termasuk persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya dengan
kemampuannya untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan
terpilah-pilah tersebut.
6. Refleksi rasional dan refleksi imani
Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan
yang sekarang menjadi obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika
hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam naskah-naskah yang sekarang
menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang
sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian
Lama). Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga,
oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel —
bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai “bangsa terpilih”, mereka
sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan keras serta
dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka. Ikatan erat dengan
tradisi dan ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama
mereka (Agama Yahudi). Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun memiliki
posisi unik dalam Agama Kristiani.
Catatan.
Bangsa Israel (dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas
tidak harus dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di
wilayah geografis yang sekarang disebut “negara Israel”.
Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal. Refleksi tokoh-tokoh
Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal dan
merupakan cetusan penolakan mereka atas mitologi (faham yang
menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para dewa dan
dewi). Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa Israel itu (misal: Musa
yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab pertama Perjanjian Lama)
merupakan ditopang oleh kalbu karena merupakan cetusan penerimaan bangsa
Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa
itu. Refleksi imani itu sungguh merupakan pernyataan universal
pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama dalam sejarah umat
manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah manusia.
Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para
tokoh Yunani itu, berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan
yang monoteistis, ternyata menjadi bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu
pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu sering filsafat
dikatakan mengatasi setiap ilmu.
Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India
dan Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi
itu nyata dalam buah pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud
“ilmu kedokteran alternatif” tusuk jarum), dan dalam karya-karya sastra
“kaliber dunia” dari anak benua India. Karya-karya sastra itu sering
diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci,
karena diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai
suci untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari.
Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau
Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari
sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi untuk hidup).
Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan
sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai pedoman untuk “mokhsa”,
pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini. Ramanuja (abad 12 Masehi)
melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa
dihayati melalui cinta. Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun
40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-”dharma yuddha”, perang
penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang tak adil.
Bagi Tilak, Arjuna adalah “a man of action” (“karma yogin”), dan Gita
mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi
“mokhsa” melalui “perjuangan” yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma
Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang
kurang lebih sama. Tanpa interpretasi Tilak, misalnya, pergolakan di
India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat politis murni (atau
kriminal murni?), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan
etis.
Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi
dan dalam kelompok. Refleksi merupakan sarana untuk mengembangkan
spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang utuh, dewasa dan
mandiri. Melalui refleksi pula, manusia dan kelompok-kelompok manusia
(yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya
dalam dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan
panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa depan.
Catatan.
Adakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia? Suatu kajian
berdasar naskah-naskah sastra Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi
doktor P J Zoetmulter SJ: “Manunggaling Kawula Gusti” (1935), yang telah
diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT Gramedia.
Pengertian Epistemologi
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos
(kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan
asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang
paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya
tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta
hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung
jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap
manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca
indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode
deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F.
Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan
ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan
“misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami.
Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi
mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya,
sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada
redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami
pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga
tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu
diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna
mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut.
Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep
selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan
persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa
memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi
belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya
belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan
belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman
terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi
pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi
konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian
pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan
seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa
pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan
pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme
berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau
sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam
Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”?
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia
dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu dapat
diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan
pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna
pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan
mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber
pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan?
Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia
(William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun
S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha
yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang
terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi
menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn
mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan
pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya
sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan
hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama
menyinggung persoalan kodrat pengetahuan, sedangkan pengertian kedua
tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat
pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan,
sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan,
sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat
pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan,
yaitu realisme dan idealisme.
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua
pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia menyatakan,
bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber,
struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu,
Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang
membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas
ilmu pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian
tersebut, tetapi kedua pengertian ini sedikit perbedaan dari kedua
pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan
pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2082651-pengertian-epistemologi/#ixzz1TvrB2vrp
ARTI EPISTEMOLOGI
Epistemologi adalah teori pengetahuan
1. Salah satu cabang filsafat yang mempermasalahkan hakikat pengetahuan,
sumber-sumbernya, syarat-syarat memperoleh pengetahuan, kebenaran dan
kepastian pengetahuan serta hakikat kehendak dan kebebasan manusia dalam
pengetahuan.
2. Cabang filsafat yang khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan.
3. Suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif
pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, dan lingkungan
sekitarnya.
4. Suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif (menilai), normatif
(tentukan tolak ukur) dan kritis (mempertanyakan dan menguji)
PEMBAHASAN DALAM EPISTEMOLOGI
1. Membahas tentang sumber-sumber pengetahaun
2. Membahas tentang apa yang kelihatan versus hakikatnya
3. Membahas tentang ke-valid-an pengetahuan.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105449-filsafat-ilmu/#ixzz1TvryqDYS
Berbagai Pengertian Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat
ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu
yang telah dibuktikan. (Robert Ackermann)
Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran
ilmiah, serta menetapkan nilai dan usaha ilmiah sebagai suatu
keseluruhan. (Lewis White Beck)
Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah
sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya,
konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam
kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. (Cornelius Benjamin)
Filsafat ilmu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati,
pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu. (May
Brodbeck)
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2090480-pengertian-filsafat-ilmu/#ixzz1TvtDWHFf
PERBANDINGAN FILSAFAT PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
1. Filsafat Pengetahuan, adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide,
konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala
isinya. (Spontan)
2. Sedangkan
3. Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan
manusia yang telah dibakukan secara sistematis. (Sistematis dan
Reflektif)
DASAR-DASAR PENGETAHUAN
1. Bahasa, merupakan salah satu hal yang mendasari dan memungkinkan
pengetahuan pada manusia. Bahasa Tertulis dan Tidak Tertulis.
2. Kebutuhan hidup manusia, memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk
dapat hidup merupakan suatu bagian dari cara berada manusia.
Pengetahuan merupakan suatu alat, strategi dan kebijakan dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105451-perbandingan-filsafat-pengetahuan-dan-filsafat/#ixzz1TvskBjnT
Epistemologi Ilmu
Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen komponen yang menjadi
tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. 1. Ontologi (hakikat apa yang dikaji) Ontologi membahas
keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis. Beberapa aliran
dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalsime dan empirisme.
Secara ontologis, objek dibahas dari keberadaannya, apakah ia materi
atau bukan, guna membentuk konsep tentang alam nyata (universal ataupun
spesifik). Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat
kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang
tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai¬mana (yang)
“Ada”. Persoalan yang didalami oleh ontologi ilmu misalnya apakah objek
yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana
hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir,
merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? Pemahaman ontologik
meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda yang
akhimya akan menentukan pendapat bahkan ke¬yakinannya mengenai apa dan
bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya.
2. Epistemologi (filsafat ilmu) Epistemologi adalah pengetahuan
sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang
membahas tentang terjadinya pengetahuan, sum-ber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas
dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik
menyebabkan perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya
memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau
kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari
pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal model
model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme
kritis, positivisme, feno¬menologi dan sebagainya. Epistemologi juga
membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model
epistemologik be¬serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti
teori ko¬herensi, korespondesi pragmatis, dan teori intersubjektif.
Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan diperca-ya.
Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman
secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan sehingga
cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur
dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu
pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan
langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang
logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika.
Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan induktif
sehingga menjadi jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan
pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris
ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak.
Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau ju-ga naluri)
dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian artinya dengan fakta yang
ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan
tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan
manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan
maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan
tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin
saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah.
Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar
karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah
sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang. 3.
Aksiologi ilmu (nilai kegunaan ilmu) Meliputi nilai nilai kegunaan yang
bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau
ke¬nyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan. Nilai-nilai
kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang ilmuwan, baik dalam
melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786495-epistemologi-ilmu/#ixzz1TvsATtEd
Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi
Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu
pengetahuan tertentu secara rasional, disamping itu Filsafat Ilmu
Pengetahuan : Cabang filsafat yang mempelajari teori pembagian ilmu,
metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis
keterangan yang berkaitan dengan kebenaran ilmu tertentu. Untuk
memperoleh kebenaran, perlu dipelajari teori-teori kebenaran. Beberapa
alat/tools untuk memperoleh atau mengukur kebenaran ilmu pengetahuan
adalah sbb. :
Rationalism; Penalaran manusia yang merupakan alat utama untuk mencari kebenaran
Empirism; alat untuk mencari kebenaran dengan mengandalkan pengalaman indera sebagai pemegang peranan utama
Logical Positivism; Menggunakan logika untuk menumbuhkan kesimpulan yang positif benar
Pragmatism; Nilai akhir dari suatu ide atau kebenaran yang disepakati
adalah kegunaannya untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105457-filsafat-ilmu-pengetahuan-mempelajari-esensi/#ixzz1TvsvurkY
Apa itu ilmu pengetahuan ? Apa beda ilmu dengan pengetahuan ?
Karena ilmu pengetahuan melahirkan keyakinan filosofis yaitu yang disebut sebagai asumsi, postulat, aksioma.
Filsafat ilmu adalah hal yang mendasari atau makna yang terkandung dalam
sebuah ilmu. Pemahaman akan filsafat ilmu disebut epistemologis.
Filsafat adalah suatu wacana atau argumentasi mengenai segala hal yang
bersifat universal yang dilakukan secara reflektif hingga sampai pada
akar masalah yaitu suatu konsekuensi radikal, terakhir, dan sistematis
guna mencapai suatu hakikat permasalahan.
Bagian yang dibicarakan dalam filsafat ilmu mengenai ilmu pengetahuan
dan kebenaran. Craig (2005) melihat epistemologi adalah inti dari
permasalahan filsafat mengenai hakikat, sumber, batas-batas ilmu
pengetahuan. Artinya bahwa pengetahuan adalah keyakinan akan kebenaran,
tetapi bukan semata-mata keyakinan yang benar. Misalnya keyakinan yang
benar berdasarkan terkaan, tidak termasuk pengetahuan.
Bagian utama permasalahan filsafat adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang ada, yaitu :
1. Masalah logika formal yang mendasari wacana ilmu pengetahuan.
2. Epistemologi mencari hubungan antara kebenaran dengan luasnya pengetahuan.
3. Berbeda, sama, serta hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
4. Klasifikasi ilmu pengetahuan
5. Masalah metodologi
6. Kesatuan ilmu pengetahuan
7. Pengembangan ilmu pengetahuan.
Epistemologis merupakan proses menyusun pendapat mengenai sesuatu hal yang berhubungan dengan mengetahui,
Sumber : Pengantar Filsafat, Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi. PT. Refika Aditama, 2006.
http://kelascmpd.blog.com/2009/12/28/epistemologi-filsafat-ilmu/
BEBERAPA PENGERTIAN PENGETAHUAN (KNOWLADGE)
• Knowledge is relation between object and subject (James K. Feibleman)
• Adapun pengethaun itu ialah kesatuan subyek yang mengetahui dan obyek
yang diketahui. Satu kesatuan dalam mana obyek itu dipandang oleh subyek
sebagai diketahui (M.J. Langeveld)
• Menurut epistemologi setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari
berkontaknya dua macam besaran, yaitu a. benda atau yang diperiksa,
diselidiki, dan akhirnya diketahui (obyek), b.manusia yang melakukan
pelbagai pemeriksaan, penyelidikan,dan akhirnya mengetahui (mengenal)
benda atau hal tadi (Ensiklopedi Indonesia)
• Pengetahuan dapat dirumuskan sebagai partisipasi oleh suatu realita
dalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa terjadinya
modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu, sebaliknya subyek
yang mengetahui dipengaruhi (Max Scheler 1874-1928)
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2090466-pengertian-pengetahuan-knowladge/#ixzz1TvtL6pAo
FUNGSI ILMU PENGETAHUAN
Drs R.B.S. FUDYARTANTA, dosen psikologi universitas gajah mada
menyebutkan 4 tujuan ilmu pengetahuan
(1) Fungsi deskriptif: menggambarkan ,melukiskan dan memaparkan suatu
obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari
(2) Fungsi pengembangan, menemukan hasil ilmu yang baru
(3) Fungsi prediksi, meramalkan kejadian yang besar kemungkinan terjadi
sehingga dapat dicari tindakan percegahannya
(4) Fungsi Kontrol, mengendalikan peristiwa yang tidak dikehendaki.
V. AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN
J.I.G.M DROST S.J Dalam karangannya Agama dan ilmu pengetahuan alam
menulis :”ilmu pengetahuan alam adala ilmu tentang semesta alam sejauh berada dalam
waktu dan ruang, tetapi ruang dan waktu baru ada pada waktu alam ada. Maka titik dan
saat terjadinya terletak di luar sudut pandangan ilmu pengetahuan alam.
Prof Harsojo memperingatkan : tetapi perlu diingatkan bahwa ilmu pengetahuan
yang dimiliki oleh umat manusia dewasa ini belumlah seberapa dibandingkan dengan
rahasia alam semesta yang melindungi amanusi. Ilmuwan besar biasanya diganggu
dengan perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak. Bahwa
yang diketahui itu masih meragukan
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2114500-fungsi-ilmu-pengetahuan/#ixzz1TvrqD31y
EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI
Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-angannya
bahwa seandainya ada seorang nabi setelah Muhammad, maka Al-Ghozali-lah
orangnya (R.A Nicholson,1976), pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya
dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat seorang nabi
itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan
Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu kalam,
filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan
untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang
membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun yang
berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis
Madjid, 1996).
Kendati demikian, ibarat kata pepatah tiada gading yang tak retak,
kebesaran reputasi Al Ghozali itu bukan tanpa cacat. Justru
keterlibatannya dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman tersebut
dipandang oleh sebagian pengamat sejarah sebagai salah satu faktor
penyebab hilangnya rasionalisme, yang pada gilirannya nanti menjadi
faktor penting bagi kemunduran dunia Islam. Misalnya, pertama, usahanya
dalam mempertahankan afiliasi kalamnya (Asy’ariah) sebagai ideologi
resmi penguasa Abbasyiah, paling tidak semakin menambah kebencian umat
Islam terhadap aliran Mu’tazilah, kalau bukan justru menegasikan sama
sekali terhadap aliran teologi Islam yang rasionalis tersebut, sehingga
semangat rasional yang terdapat didalamnya dengan sendirinya juga
ditinggalkan oleh umat Islam. Kedua, magnum opusnya dibidang filsafat,
Tahafut al Falasifah, sering dipahami oleh beberapa pengamat sebagai
penyebab hilangnya rasionalisme di dunia Islam, sehingga meskipun
perlahan tapi pasti, Islam berangsur-angsur mulai mengalami kemunduran.
Ketiga, dua penilaian diatas semakin lengkap dengan lahirnya karya
sensasional Al-Ghozali dibidang sufisme, Ihya’ Ulum Al-Din, yang pada
kenyataannya memang telah menjadi teman akrab umat Islam dalam
melaksanakan praktek-praktek romantisme dengan Tuhan melalui
pemberdayaan rasa (Dzauq) dan bukan nalar (akal). Dari sudut pandang
ini, bila rasio itu memang dapat dipahami sebagai salah satu kunci
kejayaan Islam, maka tak mengherankan bila ada beberapa pengamat
seringkali melekatkan nama Al-Ghozali dengan kemunduran dunia Islam.
Walaupun begitu, terlepas dari penilaian kontroversial terhadap
hujjatul Islam tersebut, yang pasti dia telah ikut aktif dalam mengisi
lembaran sejarah umat ini. Karya-karya besar yang diciptakannya dalam
berbagai diskursus ke-Islaman merupakan bukti penting bahwa Al-Ghozali,
baik dalam kapasitasnya sebagai teolog , filosof, mapun seorang sufi.
Sebab jangan-jangan kemunduran dunia Islam itu bukan semata-mata
disebabkan olehnya, tetapi justru dikarenakan umat Islam sendiri yang
terlalu fanatik terhadap Al-Ghozali, sehingga yang diwarisi bukan
bangunan epistemologinya dan semangat pencariannya akan kebenaran yang
hakiki, tetapi sekedar produk pemikirannya secara taken for granterd .
Sekilas tentang Epistemologi
Sebagai derivasi dari kata Yunani Episteme: pengetahuan dan logos:
ilmu, maka secara sederhana epistemologi dapat dimaknai dengan teori
pengetahuan. Epistemologi, sebagai ditegaskan Amin Abdullah, sedikitnya
membahas tiga persoalan mendasar; pertama, sumber pengetahuan; dari mana
dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar. Kedua, sifat
pengetahuan ;apakah segala sesuatu itu bersifat fenomenal (tampak)
ataukah essensial (hakiki)?. Ketiga, validitas (kebenaran) suatu
pengetahuan; bagaimana pengetahuan yang benar dan yang salah dapat
dibedakan.
Sedikitnya ada dua paradigma pemikiran dalam menjawab persoalan
epistemlogi tersebut. Pertama, idealisme atau nasionalisme
menitikberatkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau bentuk-bentuk
yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato (
427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan
bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang
kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996).
Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena
itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh,
maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak
berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari
suatu alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru
Aristoteles itu sebagai “alam ide”, suatu alam dimana manusia sebelum ia
lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide
bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga
lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide
bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato
alam ide inilah alam realitas, sedangkan alam inderawi bukanlah alam
sesungguhnya.
Paradigma selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih
memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus
alat pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles
(384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas
tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi
Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses
panjang pengalaman empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).
Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan
satu-satunya instrumen yang paling absah untuk menghubungkan manusia
dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti penting.
Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme
(Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah
mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk
memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak
dapat dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John
Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih
merupakan tabula (kertas putih). Di dalam kertas putih inilah kemudian
dicatat hasil pengamatan Indrawinya (Louis O. Katsof;1995).
Epistemologi Filsafat Al-Ghazali
Al-Ghazali, seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara
tidak adil dituduh sebagai biang keladi kemunduran Islam hanya karena ia
lebih mengedepankan afiliasi dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding
aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap
filsafat melalui kitabnya, Tahafut al-Falasifah,serta keberpihakannya
terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan olah rasa daripada nalar
sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju kebenaran hakiki.
Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali
memang memberikan kesan seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas
dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah penyebab kemunduran dunia Islam. Orang
telah lupa bahwa sesungguhnya Asy’ariah seringkali dinilai sebagai
suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional, bukan berarti dia
menafikan akal atau penalaran dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan
terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi
filsafat mana yang diserangnya , maka akan kita dapati bahwa tuduhan di
atas sangatlah tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang
keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja.
Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada
kesalahan struktur argumentasi para filosof.
Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali
mempelajari falsafah dan kemudian menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah
dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati bahwa adanya aliran dan
madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa pendapatnyalah
yang paling benar sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang
memotivasi Al-Ghazali semenjak muda senantiasa mencari kebenaran yang
hakiki. (Harun Nasution, 1996).
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan
yang diyakini betul kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di
dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali :
Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas
ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah
menjadi ular dan hal itu memang terjadi, bahwa memang kusaksikan
sendiri, maka kejadian itu tidak akan membuatku ragu terhadap
pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya
akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu sekali-kali
tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap pengetahuanku”.
(Al-Ghazali, 1961).
Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang
meyakinkan, yang oleh Al-Ghazali keyakinan itu disimbolkan sampai ke
tingkat yang sangat matematis, sehingga ia tidak akan tergoyahkan lagi
oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).
Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai
pada pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil
pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat).
(Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali
telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk
pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka
melahirkan sintesa diantar keduanya.
Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
“Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana
mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera
terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat
bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia
bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat
bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur
menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu
disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera
menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal
dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi”. (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma
empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak
dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab
kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah.
Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas
Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas
akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan
aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi,
seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia
siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya
terjadi.” (Al-Ghazali,1961).
Sampai di sini, dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya
belum juga ketemu, akhirnya Al-Ghazali dihinggapi oleh sikap skeptis,
suatu keadaan dimana hujjatul Islam ini didera oleh keadaan yang luar
biasa, sehingga ia tidak mampu lagi untuk mengingat
pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperolehnya, bahkan untuk sekedar
berbicarapun ia tak mampu. Masa-masa kritis bagi pengembangan
pengetahuannya ini berlangsung selama dua bulan hingga ia menemukan
kesadarannya kembali. Dengan dipenuhi segala rasa aman dan yakin,
Al-Ghazali akhirnya dapat menerima pengertian aksiomatis (awalli) dari
akal.
“Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya selain pengertian-pengertian
aksiomatis (pengetahuan yang bersifat asasi), seperti pengertian bahwa
sepuluh lebih banyak dari tiga; atau
bahwa negasi dan afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu
perkara; tidak ada yang baru dan pada saat yang sama ia juga dahulu;
tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat itu juga ia tidak ada; atau
sesuatu yang bersifat pasti dan ia juga bersifat mustahil pada saat yang
sama.” (Al-Ghazali, 1961). “……dengan perasaan sama dan yakin ia dapat
menerima kembali segala pengertian aksiomatis dari akal. Semua itu tidak
terjadi dengan mengatur alasan ataupun menyusun penjelasan, tetapi
dengan nur yang dipancarkan Allah kedalam batinku……kita hendaklah
mencari sekuat tenaga apa yang harus dicari sampai pada sesuatu yang
tidak usah kita cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita
mencari terus sesuatu yang telah ada niscaya ia akan menjadi samar dan
membingungkan.” (Al-Ghazali, 1961).
Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba
meneliti kebenaran hakiki yang ditawarkan melalui jalan kalam,
batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya didunia ilmu
kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang didapatnya kecuali
hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya kepada kebenaran
yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan baru.
Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan
jalan terang menuju pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu seperti
yang dicarinya selama ini, yakni dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan
aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga tampaklah secara
langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun
tidak pernah terdengar oleh telinga.
“……Apa yang dikatakan orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan
membersihkan hati, sebagai syarat pertama, mengosongkan sama sekali dari
segala sesuatu selain Allah, dan kunci pintunya laksana takbirotul
ihrom dalam sholat ialah tenggelamnya hati dalam dzikir kepada Allah dan
akhirnya fana sama sekali dengan-Nya……Diawal perjalan ini dimulailah
peristiwa-peristiwa mukasyafah (terbukanya rahasia-rahasia) dan
musyahadah (penyaksian langsung)……”(Al-Ghazali, 1961).
Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf,
yang merupakan puncak dari bangunan epistomologis. Hanya melalui
Al-Kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan yang kokoh,
karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak
akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini
dilahirkan dari suatu sikap (tingkah laku dan pemahaman yang selalu
diterangi oleh cahaya kenabian).
Catatan Akhir
Dari sekilas uraian tentang epistemologis Al-Ghazali diatas, agaknya
pengaruh paradigma rasionalisme dan empirisme memiliki ruang yang cukup
luas dalam bangunan epistemologis hujjatul Islam tersebut, walaupun
akhirnya ia sendiri tetap menempatkan secara hierarkis kedua paradigma
pengetahuan Yunani itu, dari yang paling bawah empirisme, menyusul
rasionalisme, dan akhirnya kasyf sebagai puncak tangga epistemologinya.
Berbeda halnya dengan Al-Ghazali, Imanuel Kant (1724-1804), meskipun
ia juga melakukan beberapa kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua
arus pemikiran (empirisme dan rasionalisme) yang bersifat antagonis
tersebut, Kant mampu memberikan perspektif baru dalam kajian
epistemologinya, sehingga melahirkan filsafat ilmu (philosophy of
science) yang sangat mempunyai arti penting bagi lahirnya ilmu
pengetahuan yang multi dimensional di Barat dewasa ini.
Sementara kajian epistemologi dalam literatur Barat terus berkembang,
didunia Islam sendiri, khususnya yang berbasis massa Sunni,
kecenderungan arah epistemologinya justeru beringsut lebih tajam kepada
batas wilayah idealisme dan kasyf, serta tidak peduli lagi dengan
masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme, sehingga semangat kritis
dan pluralisme yang tersimpan dibalik paradigma empirisme tersebut tidak
terwarisi masyarakat muslim. Sebaliknya mereka justru mendapatkan watak
idealisme yang monistik. Karena itu, tidak berlebihan kesan yang
ditangkap Amin Abdullah dari implikasi paradigma epistemologi yang
seperti itu membuat alam pemikiran muslim menjadi terlalu rigid, puritan
dan dikotomis dalam memecahkan masalah.
http://www.goodreads.com/story/show/12243-epistemologi-filsafat-al-ghozali
Epistemologi Islam
Kajian epistemologi Islam penting untuk dilakukan mengingat saat ini
sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker
epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai
(critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual
failure), yang pada gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan
akhirnya menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker
ini, di antaranya suka berkata: “Di dunia ini, kita tidak pernah tahu
Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan “k” kecil.”
“Kebenaran itu relatif.” “Agama itu mutlak, sedang pemikiran keagamaan
relatif.” “Semua agama benar dalam posisi dan porsinya masing-masing.”
Dll.
Epistemologi secara sederhana bisa dimaknai teori pengetahuan.
Mungkinkah mengetahui, apa itu pengetahuan, dan bagaimana mendapatkan
pengetahuan, merupakan tema-tema pembahasan epistemologi. Menurut Milton
D. Hunnex, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episçmç yang
bermakna knowledge, pengetahuan, dan logos yang bermakna teori. Istilah
ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang
membuat perbedaan antara dua cabang filsafat yaitu ontologi (Yunani: on =
being, wujud, apa + logos = teori) dan epistemologi. Jika ontologi
mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika, maka epistemologi
membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas
pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak
bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui
dan (2) bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada teori dan isi
ilmu, sedangkan yang kedua pada metodologi.
Mungkinkah Mengetahui?
Pertanyaan itu sudah mengemuka dari sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman
ini lahir aliran yang bernama sofisme (السوفسطائية). Menurut kaum sofis,
semua kebenaran relatif. Ukuran kebenaran itu manusia (man is the
measure of all things). Karena manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun
berbeda-beda tergantung manusianya. Menurut anda mungkin benar, tetapi
menurut saya tidak, demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis.
Akibatnya, mudah diterka, terjadi semacam kekacauan kebenaran. Semua
teori sains diragukan, semua aqidah dan kaidah agama dicurigai. Manusia
menjadi hidup tanpa pegangan “kebenaran”, dan hal seperti itu telah
menyebabkan manusia terasing di dunianya sendiri.
Maka kemudian, muncullah Socrates, yang jejaknya diikuti oleh Plato dan
Aristoteles. Menurut mereka tidak semua kebenaran relatif, ada kebenaran
yang umum, yang mutlak benar bagi siapapun. Kebenaran ini disebut idea
oleh Plato, dan definisi oleh Aristoteles.
Sofisme klasik ini kemudian berreinkarnasi (terlahir kembali) pada zaman
modern dengan nama skeptisisme. Seseorang yang skeptis akan senantiasa
meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat
tentang semua perkara (termasuk yang qath’i dalam agama) harus selalu
terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap ekstrem dia akan mengklaim bahwa
kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil ditemukan.
Wujud lain dari sofisme modern adalah relativisme. Pengidap relativisme
epistemologis menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua
pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya) sama
benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Jika seorang
skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis menerima
dan menganggap semuanya benar. Aliran ini yang kemudian berkembang
menjadi paham pluralisme agama.
Islam tentu saja menentang paham sofisme dengan segala macam bentuk
reinkarnasinya. Dari sejak awal surat, al-Qur`an mengajarkan agar
manusia mencari kebenaran, karena kebenaran itu ada, dan kesalahan pun
beserta orang-orang yang salahnya juga ada.
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Dalam awal surat al-Baqarah, lagi-lagi al-Qur`an menolak paham relativisme:
Alif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Nabi Muhammad saw, sebagai insan biasa, yang terkadang ragu dengan
propaganda sofisme dari musuh-musuhnya pun diingatkan Allah swt:
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
Artinya, kebenaran itu ada, sumbernya dari Tuhanmu, yakni yang
disampaikannya kepadamu melalui wahyu. Jadi jangan pernah bersikap
sofis, karena pegangan kebenaran jelas dan ada, yakni wahyu.
Sebagai bukti lain bahwa Islam memerangi sofisme, Islam mewajibkan
pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam sebuah
hadits yang terkenal:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.
Hadits-hadits dan ayat-ayat lainnya yang mengutamakan ilmu, semuanya
menolak mentah-mentah paham sofisme, skeptisisme, relativisme, dan semua
bentuk reinkarnasinya.
Dalam berbagai tempat Allah swt juga suka mengingatkan bahwa dalam hidup
ini akan selalu ada dua pilihan; haqq dan bathil, benar (shawab) dan
keliru (khatha`), sejati (shadiq) dan palsu (kadzib), baik (thayyib) dan
busuk (khabits), bagus (hasanah) dan jelek (sayyi`ah), lurus (hidayah)
dan tersesat (dlalalah). Semuanya itu mengajarkan nilai kepada manusia
bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
Terkait dengan adanya ikhtilaf di antara ulama yang sering dijadikan
pembenar bahwa tidak ada kebenaran yang pasti, maka tentu harus
dibedakan dulu mana yang qath’i dan mana yang zhanni, mana yang ushul
dan mana yang furu’. Karena pastinya para ulama tidak mungkin
berikhtilaf dalam masalah yang ushul dan qath’i. Kalaupun masih ada juga
yang berbeda dalam kedua masalah tersebut, maka itulah orang-orang yang
masuk kategori sayyi`ah dan dlalalah. Jika pemikir seperti Socrates,
Plato dan Aristotels saja mengakui adanya kebenaran yang bersifat umum,
maka sangat aneh jika para ulama yang terbimbing dengan al-Qur`an dan
sunnah tidak mengakui adanya kebenaran tersebut. Padahal, al-Qur`an dan
sunnah dengan sangat jelas telah memberikan bimbingan dalam masalah
tersebut.
Bagaimana Kita Bisa Mengetahui?
Ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan
berbagai alat. Menurut Jujun S. Suriasumantri, pada dasarnya terdapat
dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio, dan yang kedua
mendasarkan diri kepada pengalaman. Yang pertama disebut paham
rasionalisme, dan yang kedua disebut paham empirisme. Pengetahuan jenis
pertama disebut logis, dan pengetahuan jenis kedua disebut empiris.
Kerjasama rasionalisme dan empirisme melahirkan metode sains (scientific
method), dan dari metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific
knowledge) yang dalam bahasa Indonesia sering disebut pengetahuan ilmiah
atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan sains ini adalah jenis pengetahuan
yang logis dan memiliki bukti empiris. Jadi tidak hanya logis saja yang
menjadi andalan kaum rasionalis, tapi juga harus empiris yang menjadi
andalan kaum empiris. Kalau ternyata pengetahuan tersebut hanya bersifat
logis, tidak empiris, pengetahuan tersebut akan disebut pengetahuan
filsafat, bukan pengetahuan sains/ilmiah.
Kerjasama dari rasionalisme-empirisme ini kemudian melahirkan paham
positivisme, yakni paham yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang
ilmiah harus dan pasti dapat “terukur”. Panas diukur dengan derajat
panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan timbangan.
Di samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk
mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting dari semua itu, menurut
Jujun, adalah intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang
didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang
sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan
jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang
berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Inilah yang
disebut intuisi.
Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada
manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di
setiap zaman. Menurut Jujun, agama merupakan pengetahuan bukan saja
mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau pengalaman, namun
juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar
belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib
(supernatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui
oleh para ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya
pengetahuan ilmiah pada logis-empiris.
Menurut Ahmad Tafsir, terdapat aliran lain yang mirip sekali dengan
intuisionisme, yaitu iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan
tokoh-tokoh agama; di dalam Islam disebut teori kasyf. Teori ini
menyatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih, maka ia telah siap
dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini lebih terfokus
pada ilhâm yang diturunkan Allah swt kepada manusia. Menurut Ahmad
Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam sejarah pemikiran Islam,
boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla Shadra.
Jika kita menilik pemikiran para ulama Islam tentang sumber pengetahuan,
akan didapati bahwa di antara mereka tidak ada yang hanya membatasi
pada salah satu dari empat saluran pengetahuan sebagaimana dijelaskan
Jujun di atas. Tidak seperti halnya di dunia Barat yang membatasi
keilmiahan pada logis-empiris saja misalnya, dalam khazanah pemikiran
Islam aliran semacam itu hampir tidak ditemukan.
Lihat misalnya pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga saluran
yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs),
proses akal sehat (ta’âqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui
informasi yang benar (khabar shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian seperti
al-Nasafi di atas dihitung empat, dengan memisahkan proses akal sehat
dan intuisi hati.
Ibn Taimiyyah sendiri tidak jauh berbeda dalam menjelaskan
saluran-saluran pengetahuan ini. Dari tiga yang pokok: khabar, akal dan
indera, Ibn Taimiyyah kemudian membagi indera pada indera lahir, yakni
panca indera yang kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati.
Terhadap teori kasyf sebagaimana disinggung oleh Ahmad Tafsir di atas,
Ibn Taimiyyah juga memberikan kemungkinannya. Hanya menurutnya
pengetahuan yang diperoleh lewat ilhâm tersebut tidak boleh bertentangan
dengan khabar yang statusnya lebih kuat. Karena selain sama-sama
berasal dari Allah swt, khabar ini juga disampaikan kepada manusia
pilihan-Nya, yaitu para Nabi. Sehingga jelas apa yang disampaikan Allah
swt kepada para Nabi lebih kuat kedudukannya ketika berbenturan dengan
ilhâm yang banyak di antaranya hanya berupa lintasan-lintasan hati biasa
dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Al-Ghazali menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya, hâkim dalam
makna pemutus benar tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu hissî (indera),
wahmî (intuisi), dan ‘aqlî (akal). Menurut al-Ghazali, ketika hâkim
wahmî itu terkadang bertentangan dengan akal dan indera yang kuat,
padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya yang melintas
di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya mengakui
saluran wahmî dari orang yang dikuatkan oleh Allah swt dengan
taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah swt disebabkan orang yang
bersangkutan hanya menempuh jalan yang haqq. Tidak menyebutkannya
al-Ghazali kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak
mengakuinya. Karena di dalam berbagai karyanya, termasuk dalam menentang
para filosof melalui Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali melandaskannya
pada dalil-dalil wahyu. Itu semua dikarenakan yang menjadi titik tekan
al-Ghazali dalam pembahasannya ini adalah hâkim dari diri manusia
sendiri, bukan dari luar.
Adapun al-Qadi Abu Bakar al-Baqillani, dengan konsep yang sama membagi
sumber pengetahuan ini ke dalam enam bagian. Lima di antaranya adalah
jenis-jenis indera, yaitu hâssat al-bashar (indera melihat), hâssat
al-sam’ (indera mendengar), hâssat al-dzauq (indera mengecap), hâssat
al-syamm (indera mencium), dan hâssat al-lams (indera merasa dan
meraba). Adapun yang keenamnya, al-Baqillani menjelaskan: “Jenis yang
keenam adalah sesuatu keharusan yang timbul di dalam jiwa secara
langsung tanpa melalui indera-indera yang disebutkan tadi.” Al-Baqillani
kemudian menyebutkan contoh-contoh pengetahuan yang diperoleh lewat (1)
intuisi, seperti seseorang yang mengenali dirinya sendiri, (2) lewat
akal, seperti memahami omongan, dan (3) lewat khabar khususnya yang
mutawâtir, seperti tentang kehidupan yang ada di luar negeri. Termasuk
tentunya khabar-khabar keagamaan, karena sifatnya yang sama sebagai
khabar.
Penjelasan al-Baqillani ini menguatkan kesimpulan bahwa pemahaman para
ulama terhadap sumber pengetahuan dalam Islam sama. Tidak ada pemilahan
di antara mereka antara yang logis, empiris, dan intuitif. Semuanya
diakui asalkan berdasar pada dalil-dalil yang kuat. Baik itu yang
revelational/wahyu (naqlî), rasional (‘aqlî) ataupun empirikal (hissî).
Apa Itu Pengetahuan?
Peradaban Barat membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis,
yaitu science dan knowledge. Istilah yang pertama diperuntukkan bagi
bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan istilah kedua
diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep mental dan
metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan
dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya
fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya,
seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).
Fenomena seperti ini baru terjadi pada abad modern. Karena sampai abad
pertengahan, pengetahuan belum dibeda-bedakan ke dalam dua istilah
teknis di atas, istilah pengetahuan (knowledge) masih mencakup semua
jenis ilmu pengetahuan. Baru ketika memasuki abad modern yang ditandakan
dengan positivisme, maka pengetahuan yang terukur secara empiris
dikhususkan dengan penyebutan scientific knowledge atau science saja.
Islam tentu saja tidak mengenal pemenggalan zaman menjadi abad klasik,
pertengahan dan modern. Karena di Islam tidak pernah terjadi tarik-ulur
yang dahsyat antara akal dan iman, atau antara kekuasaan dunia dan
kekuasaan agama. Islam juga tidak mengenal renaissance yang ditandakan
dengan terbebasnya alam pikiran manusia dari kungkungan penguasa agama.
Karena dari sejak awal kelahirannya, antara agama, akal dan indera,
ketiganya berjalin kelindan dengan sangat baik. Konsekuensinya, tidak
akan ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam pergeseran definisi ilmu
seperti yang terjadi di dunia Barat. Dari sejak awal dan sampai
sekarang, ilmu dalam Islam mencakup bidang-bidang fisik juga
bidang-bidang nonfisik.
Istilah yang digunakannya pun dari sejak awal tidak berubah, yakni ‘ilm.
Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, penggunaan istilah ‘ilm itu sendiri,
sangat terpengaruh oleh pandangan dunia Islam (Islamic worldview):
Pengetahuan dalam bahasa Arab digambarkan dengan istilah al-’ilm,
al-ma’rifah dan al-syu’ûr (kesadaran). Namun, dalam pandangan dunia
Islam, yang pertamalah yang terpenting, karena ia merupakan salah satu
sifat Tuhan. Julukan-julukan yang dikenakan kepada Tuhan adalah
al-’Âlim, al-’Alîm dan al-’Allâm, yang semuanya berarti Maha Mengetahui;
tetapi Dia tidak pernah disebut al-’Ârif atau al-Syâ’ir.
Akan tetapi berkaitan dengan pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan
Daud, sekarang ini umat Islam menyadari bahwa mendefinisikan ilmu
(pengetahuan) secara hadd adalah mustahil. al-Attas dalam hal ini
menjelaskan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak terbatas (limitless)
dan karenanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus
yang bisa didefinisikan. Lagi pula, al-Attas menjelaskan, pemahaman
mengenai istilah ‘ilm selalu diukur oleh pengetahuan seseorang mengenai
ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya. Ketika medan ilmu pada
faktanya sangat luas, maka pengetahuan seseorang terhadapnya sangat
terbatas. Oleh karena itu pasti pemahaman ilmu dari masing-masing orang
akan terbatas.
Ketika menyadari bahwa mendefinisikan ilmu secara hadd adalah mustahil,
maka Al-Attas hanya mengajukan definisi deskriptif (rasm). Dengan premis
bahwa ilmu itu datang dari Allah swt dan diperoleh oleh jiwa yang
kreatif, ia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu ke dalam dua
bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt, bisa
dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushûl) makna sesuatu atau
objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; kedua, sebagai sesuatu yang
diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai
datangnya jiwa (wushûl) pada makna sesuatu atau objek ilmu.
Yazdi adalah tokoh lainnya yang menyatakan ilmu tidak mungkin
didefinisikan. Hal itu disebabkan konsep pengetahuan merupakan salah
satu konsep paling jelas dan swanyata (badîhî). Bukan saja tidak
membutuhkan definisi, pengetahuan tidak mungkin didefinisikan, lantaran
tidak ada kata atau istilah lain yang lebih jelas untuk dipakai
mendefinisikannya. Frase atau tuturan yang lazim dipakai dalam buku-buku
filsafat dan logika sebagai definisi pengetahuan atau ilmu hanyalah
memberikan contoh-contoh (mishdâq/instance) pengetahuan yang ada dalam
ilmu atau bidang kajian tertentu, bukan definisi dalam arti
sesungguhnya. Contohnya definisi yang disebutkan oleh para ulama dan
ahli logika seperti: “penangkapan bentuk (shûrah atau form) sesuatu
dalam pikiran”, “hadirnya maujud nonmaterial dalam maujud nonmaterial
lainnya”, atau “hadirnya sesuatu pada maujud nonmaterial”.
Yazdi pun kemudian menjelaskan tentang ilmu ini sebagaimana halnya
al-Attas. Cuma istilah yang digunakannya ada perbedaan. Untuk ilmu yang
datang secara langsung dari Allah swt Yazdi menamakannya al-’ilm
al-hudûrî (pengetahuan dengan kehadiran, presentational knowledge,
knowledge by presence). Sementara untuk ilmu yang didapatkan lewat usaha
manusia Yazdi menyebutnya al-’ilm al-hushûlî (pengetahuan tangkapan
atau perolehan, acquired knowledge).
Dr. Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi, adalah tokoh lainnya yang menyatakan
hal serupa. Dalam karyanya tentang perbandingan epistemologi antara
al-Qur`an dan filsafat (nazariyyat al-ma’rifah baina al-Qur`ân wa
al-falsafah) ia menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir
Mu’tazilah, filosof Yunani, dan para ulama Ahl al-Sunnah. Hasilnya, ia
menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan. Karena
semua definisi yang diajukan oleh masing-masing pakar berbeda-beda dan
hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi titik perhatiannya saja.
Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang hadd.
Uraian keempat ulama di atas mengindikasikan dengan jelas bahwa ilmu
dalam Islam mencakup dua pengertian; pertama, sampainya ilmu dari Allah
ke dalam jiwa manusia, dan kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek
ilmu melalui penelitian dan kajian. Dalam hal ini, mutlak disimak firman
Allah swt berikut ini:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-’Alaq [96] :
1-5)
Secara jelas, ayat di atas menginformasikan bahwa ilmu bisa diperoleh
dengan aktivitas iqra`, juga bisa diperoleh dengan anugerah Allah swt
langsung kepada manusia.
Klasifikasi Pengetahuan, Bukan Dikotomi
Konsekuensinya, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu; yang satu diakui,
yang lainnya tidak. Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan
yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis
pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu
(revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah
pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau
diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.
Al-Ghazali misalnya membagi ilmu dari aspek ghard (tujuan/kegunaan) pada
syar’iyyah dan ghair syar’iyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan al-Ghazali
adalah yang berasal dari Nabi saw, sedangkan ghair syar’iyyah adalah
yang dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung, dihasilkan oleh
eksperimen seperti kedokteran, atau yang dihasilkan oleh pendengaran
seperti ilmu bahasa.
Ibn Taimiyyah membagi ilmu dari aspek yang sama dengan pola yang sama.
Cuma penamaannya, syar’iyyah dan ‘aqliyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan
Ibn Taimiyyah adalah yang berurusan dengan persoalan agama dan
ketuhanan, adapun ‘aqliyyah adalah yang tidak diperintahkan oleh syara’
dan tidak pula diisyaratkan olehnya.
Sementara syaikh al-’Utsaimin membahasakannya dengan ilmu syar’î dan
nazarî. Ilmu syar’î adalah fiqh (pemahaman) terhadap kitab Allah dan
sunnah Rasulullah saw, sementara ilmu nazarî adalah ilmu shinâ’ah
(perindustrian) dan yang berkaitan dengannya.
Berkaitan dengan pembagian ilmu dalam Islam seperti di atas, Oliver
Leaman menjelaskan, umat Islam membagi ilmu ke dalam model seperti itu
disebabkan al-Qur`an menjelaskan bahwa bidang pengetahuan itu ada dua;
yang tampak dan yang gaib. Yang tampak dapat diketahui oleh manusia dan
juga merupakan objek kajian sains, sedangkan alam gaib, meskipun dapat
diketahui dengan cara yang berbeda, merupakan wilayah wahyu. Hal ini
dapat dimengerti mengingat tidak adanya bukti fisik yang bisa diterima
ihwal alam gaib.
Oliver Leaman menjelaskan lebih lanjut, berdasar pada acuan al-Qur`an
inilah maka kemudian ilmu pengetahuan dalam Islam ada dua jenis: ‘Ilm
yang mengungkap ‘âlam syahâdah atau alam yang sudah diakrabi dan
terpapar dalam sains alam; dan ma’rifah yang mendedahkan ‘âlam al-ghâ`ib
atau alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekadar pengetahuan
proposisional (propositional knowledge). Cara memperoleh pengetahuan
jenis kedua ini adalah melalui wahyu.
Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan agar tidak terjadi
“kekacauan ilmu”. Ketika agama diukur oleh akal dan indera (induktif),
maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyah dan
aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah “kesalahan”, melainkan
sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Demikian juga, ketika
sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir
kelak pembajakan dalil-dalil agama. Sehingga langit yang tujuh dipahami
sebagai planet yang jumlahnya tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh
sebagian filosof Muslim di abad pertengahan. Wal-’Llahu a’lam
bis-shawab.
http://pemikiranislam.net/2010/04/epistemologi-islam/
Epistemologi Menurut Perspektif Islam : Beberapa Isu Pilihan untuk Diskusi
Osman Bakar, PhD
1. Mana-mana epistemologi – teori ilmu – semestinya berkemampuan
menghubungkaitkan dengan jelas antara dua perkara, iaitu obiek yang
dikethui dan subjek yang mengetahui.Yang membedakan sesuatu epistemology
dengan epistemology yang lain adalah tanggapan terhadap ruanglingkup
realitas objek dan ruanglingkup realitas subjek yang dapat diterima
sebagai meyakinkan. Aliran utama epistemology modern umpamanya yang
sebenarnya merupakan ciptaan pemikiran Barat didapati berbeda dengan
epistemologi Islam pada umumnya dari segi tanggapan terhadap kedua dua
ruanglingkup ini. Di Barat terdapat sebilangan ilmuwan dan pemikir yang
berpegang pada epistemologi yang hampir serupa dengan epistemologi
Islam. Tetapi mereka ini merupakan golongan minoritas.
2. Adalah jelas bahawa konsep realitas sangat mempengaruhi
epistemologi. Bagi ajoritas ilmuwan dan pemikir dalam peradaban Barat
modern, yang diakui sebagai ealitas adalah terbatas kepada apa yang
dapat disaksikan oleh pancaindera atau yang apat disahkan oleh metode
empiris. Yang tidak dapat dibuktikan dengan menggunakan metode ini
disangsikan eksistensinya atau pun ditolak sarna sekali. ‘Metode ilmiah
dijadikan penentu tunggal eksistensi sesuatu. Isunya, konsep pembuktian
kebenaran terbatas kepada penggunasuaian metode ilmiah tetapi makna dan
pengertiani lmiah itu sendiri disempitkan kepada pengetahuan empiris.
Tegasnya, ruanglingkup realitas objek menurut aliran pemikiran ini
adalah terbatas kepada alam fisik.
3. Seperti mana terjadi penyempitan realitas objek yang dapat
diketahui oleh manusia epada realitas fisik maka demikian juga
terjadinya pengecilan wilayah realitas subyek ang mengetahui kepada diri
yang sekadar memiliki fakultas pancaindera dan fakultas
akal yang hanya pandai berfikir secara logika tentang data-data empiris
sahaja. Dengan ata lain, diri manusia yang ingin menjadi subyek yang
mengetahui mempunyai tahap esadaran yang rendah. Di kalangan ilmuwan
modem bukan sedikit yang berpendapat
bahawa akal pikiran manusia itu sendiri adalah konsekuensi proses
evolusi yang bersifat fisik. Maksudnya, akal manusia disamakan sahaja
dengan otak. Maka ia dilihat sebagai produk proses fisik yang dapat
dipahami dengan hanya perlu merujuk kepada realitas alam materi. Apabila
manusia seperti ini merujuk kepada dirinya sebagai “aku” maka kesadaran
“aku”nya itu sekadar kesadaran yang dimiliki oleh ego
empirisnya.Ternyata bahawa epistemologi yang dimiliki oleh aliran utama
pemikiran ilmiah di Barat moden adalah didasarkan kepada hubungan antara
objek dan subyek pada tahap kesadaran manusia yang paling rendah.
4. Berbeda kedudukannya dengan konsep realitas dalam pemikiran Islam.
Menurut l-Qur’an realitas objek yang dapat diketahui mencakupi seluruh
alam semesta dan enciptanya yakni Allah s.w.t. Alam semesta yang wujud
di luar diri manusia bersifat irarkis. Maksudnya, ia memiliki berbagai
tingkat wujud atau eksistensi. Selain alam isik wujud alam bukan fisik
yang juga dapat diketahui oleh manusia. Alam semesta atau kosmos yang
diperlihatkan oleh al-Qur’an terbahagi secara kasarnya kepada tiga
tingkat wujud dengan sifat realitas masing-masing. Realitas tingkat
terendah adalah realitas fisik atau dunia materi. Realitas tingkat
teratas adalah realitas spiritual. Dalam al-Qur’an realitas ini merujuk
kepada dunia malaikat yang menurut hadis adalah dicipta daripada cahaya.
Realitas tingkat tengah adalah realitas psikis atau animistik yang juga
disebut sebagai dunia halus. Dari segi peristilahan keagamaan di dalam
al-Qur’an realitas ini merujuk kepada dunia jinn yang dicipta daripada
api yang bukan fisik.
5. Juga menurut al-Qur’an, realitas subyek yang dapat diketahui
mencakupi seluruh apa ang disebut oleh Sayyidina Ali r.a. sebagai alam
kecil (al- ‘alam al-saghir). Di Barat ia ikenali dengan istilah
microcosm. Alam ini merujuk kepada alam diri manusia yang juga terbahagi
kepada beberapa tingkat wujud dengan sifat realitas masing-masing.
AI-Qur’an menegaskan: “Dia memulai penciptaan manusia dari tanah.
Kemudian Dia enyempurnakannya dan meniupkan ruh-Nya ke dalam (tubuh
manusia) dan Dia enjadikan bagi kamu (fakultas) pendengaran,
pengelihatan dan hati tetapi kamu sedikit sekali bersyukur.” (32:7-9).
Fakultas pengetahuan manusia meliputi pancainderanya, fakultas-fakultas
batin (internal) seperti fakultas pengingatan dan daya khayal, fakultas
rasional dan spiritualnya, yakni akal dan hati (qalb). Fakultas-fakultas
yang membentuk realitas subyek inilah yang memungkinkan manusia
mengetahui realitas alam semesta yang bertingkat-tingkat wujudnya dalam
suatu hirarkis.
6. Epistemologi Islam menegaskan bahawa setiap disiplin ilmu atau
sains dicirikan oleh mpat perkara berikut: [1] ada mauduk (“subject
matter”) yang diberi definisi yang jelas; 2] ada premis-premis(
muqadammat) yang diandaikan benar tetapi kebenarannya tidak isa
dibuktikan dalam ilmu tersebut; kebenaran premis-premis disiplin ilmu
itu perlu ibuktikan dalam displin ilmu yang dikira lebih tinggi
kedudukannya dari segi tahap ebenaran yang dibicarakan; [3] ada metode
(tariqah) yang khusus baginya; [4] ada bjektif-objektif (ahdaf) khusus
bagi disiplin berkenaan.
Dibentangkan pada: Diskusi Pakar “Krisis Epistemologi di Perguruan
Tinggi” FUF UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Indonesia, 23 Mei 2008.
http://i-epistemology.net/osman-bakar/32-epistemologi-menurut-perspektif-islam–beberapa-isu-pilihan-untuk-diskusi.html
Zainal Abidin Bagir
Center for Religious and Cross-cultural Studies
Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia
1. “Islam Yes, Sains Islam No”?
Banyak Muslim kini tak lagi alergi dengan ajakan lama Nurcholish Madjid,
“Islam Yes, Partai Islam No”, karena politik nyatanya memang tak perlu
dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Urusan pengaturan negara dan
politik adalah urusan manajemen, yang mesti ditangani manajer
profesional, secara (seharusnya) rasional—lebih-lebih dalam konteks
masyarakat yang pluralistik. Tujuan-tujuan universal Islam bisa dicapai
tanpa harus membentuk institusi-institusi dengan embel-embel Islam—yang
justru kerap menjadi sumber penyalahgunaan. Bagaimana dengan institusi
sains? [1] Perlukah slogan semacam itu: “Islam Yes, Sains Islam No”?
Analogi ini ditarik karena ada kesamaan penting antara negara dan sains:
keduanya adalah institusi sosial (publik) yang hidup dalam komunitas
pluralistik. Di akhir makalah ini, saya akan kembali ke analogi ini.
Gagasan “sains Islam” sudah berada di percaturan intelektual Islam
selama lebih dari 20 tahun, di berbagai belahan dunia Muslim, termasuk
Indonesia. Gagasan ini jugalah yang rupanya sebagiannya mengilhami
diadakannya seminar ini pada hari ini. Dalam proposal seminar ini,
dinyatakan bahwa salah satu tujuan penciptaan epistemologi Islam adalah
untuk “membangun sains yang berdaya guna bagi kehidupan manusia dan
kemanusiaan.” Sains Barat modern didasarkan pada epistemologi Barat,
maka epistemologi Islam—yang keberadaannya sulit dipungkiri—sudah
sewajarnyalah mampu melahirkan sains yang Islami. Di sini, epistemologi
dianggap sebagai dasar sains; epistemologi memiliki prioritas (yaitu,
keterdahuluan) baik secara konseptual maupun temporal. Namun sejarah
sains, baik di Barat mapun Islam, saya kira menunjukkan bahwa kaitan
epistemologi dengan sains tak serapi itu. Kaitan yang rapi hanya muncul
dalam rekonstruksi rasional atas sejarah, yang tak mesti mewakili gerak
sejarah yang sebenarnya. Nyatanya, sains kerap memiliki dinamikanya
sendiri. Sains berkembang bukan karena epistemologi yang baik, tapi
justru epistemologi kerap dipaksa menyesuaikan diri dengan
temuan-temuan—dan kegagalan-kegagalan—sains.
Dengan begitu, anggapan bahwa perumusan epistemologi Islam akan otomatis
menghasilkan jenis model sains alternatif yang berbeda pula menjadi
patut dipertanyakan. “Jenis sains yang berbeda” ini disebut oleh banyak
Muslim sebagai “sains Islam” ( Islamic science ). Dalam makalah ini saya
tak akan membahas kaitan epistemologi dengan sains, tapi langsung
beranjak dari problematik gagasan “sains Islam”.
Apa itu “sains Islam”? Definisi awal dan paling mudah yang bisa
diberikan untuk “sains Islam” adalah bahwa ia adalah sistem sains yang
diilhami oleh nilai-nilai Islami, atau manifestasi
ajaran-ajaran/nilai-nilai Islam dalam sistem sains. Definisi ini jelas
amat luas cakupannya, namun justru karena itu saya kira akan disepakati
oleh para penganjur sains Islam seperti dalam kelompok yang dipelopori
oleh Seyyed Hossein Nasr, Isma’il Faruqi, maupun Ziaduddin Sardar. Tanpa
menafikan perbedaan-perbedaan yang terkadang cukup radikal, bisa saya
katakan bahwa gagasan sains Islam tercakup dalam definisi ini. Perbedaan
di antara mereka terutama menyangkut pemahaman mereka atas sains dan
Islam, dan strategi pembentukannya. Di luar itu, dapat dikatakan bahwa
gagasan mereka tercakup dalam definisi ini.
2. Netralitas religius sains
Salah satu premis terpenting penganjur sains Islam adalah bahwa sains
itu tak bebas nilai, karena memiliki asumsi-asumsi metafisis yang
mendahului aktifitas sains, sehingga sistem nilai-nilai tertentu
(termasuk di dalamnya nilai-nilai religius) bisa mewarnai aktifitas dan
hasil (teori-teori) sains. Namun argumen-argumen untuk premis ini
seringkali didasarkan pada gambaran usang dan tak akurat tentang sejarah
dan filsafat sains, dan kadang-kadang bahkan ditampilkan dalam semacam
teori konspirasi.
Di antaranya, yang kerap disebut adalah kisah standar tentang
pembentukan pandangan dunia mekanis, yang diajukan secara substantif
pertama kali oleh Descartes, lalu diturunkan menjadi alat analisis yang
digunakan Boyle sebagai dasar sainsnya, dan konon dijadikan basis
kosmologi oleh Newton. Pandangan dunia mekanis inilah yang kemudian
menjadi basis sekularisasi peradaban modern, hingga berujung pada
peminggiran agama. Namun kisah ini terlalu sederhana.
Seperti terungkap dalam kajian-kajian sejarah sains, kuatnya
keberagamaan ketiga tokoh itu tak dapat dipungkiri. Tuhan menempati
posisi yang sentral dan esensial dalam sistem yang dibangun ketiga
ilmuwan modern awal itu. Yang tampak nyata dalam pemikiran mereka adalah
ketegangan yang nyata antara keinginan menampilkan sistem yang
naturalistik tapi tetap memberikan tempat yang sentral untuk Tuhan.
Ketegangan yang serupa tampak pula dalam sistem-sistem yang dibangun
oleh ilmuwan dan filosof Muslim beberapa abad sebelumnya, seperti Ibn
Sina dan Ibn Rusyd. Bahwa kemudian sains berkembang ke arah yang menjauh
dari semangat religius mereka adalah persoalan lain. Yang jelas, sulit
menuduh mereka sebagai agen-agen sekularisme dan marjinalisasi agama.
Argumen lain untuk menunjukkan tak bebas nilainya sains merupakan
analisis filosofis struktur sains. Dari sisi ini, sesungguhnya tak sulit
diterima bahwa sains itu tak bebas-nilai, bahwa teori-teori sains itu
lahir dari proses dimana nilai-nilai atau asumsi metafisis tertentu, dan
bukan hanya data-data empiris, juga terlibat. Pertanyaannya adalah:
apakah kaum beragama, khususnya Islam, perlu keberatan dengan
nilai-nilai tersebut? Yang menjadi keberatan kita sesungguhnya bukanlah
adanya nilai-nilai per se , tapi nilai-nilai yang memecah-belah
komunitas sains. Yaitu, nilai-nilai yang mungkin tak bisa diterima
Muslim atau Kristen, atau juga ateis, sehingga menjadikan mereka tak
bisa terlibat dalam komunitas sains tersebut.
Apakah sains memiliki nilai-nilai semacam itu? Menurut saya, tidak. Jika
pun ada, biasanya itu akan dikoreksi dalam perkembangan selanjutnya.
Misalnya, keyakinan akan keteraturan alam; bahwa alam ini teratur,
peristiwa-peristiwa alam terjadi karena adanya hukum-hukum yang pasti.
Ini menjadi basis induksi, karena tanpanya kita tak bisa menyimpulkan
bahwa eksperimen yang kita lakukan hari ini akan memberikan hasil yang
sama jika dilakukan besok. Seorang Muslim atau Kristen bisa saja
mengutip ayat-ayat dalam kitab sucinya untuk menunjukkan bahwa keyakinan
seperti itu ada dalam agama mereka, tapi seorang ilmuwan tak perlu
menjadi Muslim atau Kristen untuk memiliki keyakinan seperti itu. Ini
lebih merupakan “keimanan operasional-pragmatis”, yang dipegang secara
tentatif untuk tujuan pragmatis merumuskan teori. (Dengan menyatakan
ini, saya tak ingin mengingkari bahwa dalam sejarahnya, bisa jadi
konteks teistik yang menjadi habitat perkembangan sains itulah yang
memungkinkan sains berkembang, seperti diajukan banyak sejarawan sains.)
Bagaimana dengan materialisme, yang konon juga mendasari sains?
Materialisme ini pun saya kira hanya merupakan keimanan
operasional-pragmatis, yang sifatnya tentatif. Kalaupun seorang
materialis meyakini bahwa yang ada hanyalah materi, pertanyaan
lanjutannya adalah: apa itu materi? Nyatanya, yang disebut materi dalam
sains berubah-ubah. Kalau materi didefinisikan sebagai sesuatu yang
menempati ruang dan dapat diindera, maka elektron mesti dianggap tak
ada. Elektron yang tak bisa dilihat langsung dianggap sebagai materi
hanya karena jejak-jejaknya bisa ditemukan di laboratorium. Elektron
sendiri awalnya diajukan sebagai entitas teoretis (yaitu: fiktif), namun
kini ilmuwan menerima keberadaannya tanpa ragu-ragu. Bagaimana dengan
quark? Adakah quark? Ada banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa
diajukan. Namun ringkasnya, kandungan materialisme berubah terus,
menuruti perkembangan sains. Ia bukanlah doktrin yang kaku,
berhadap-hadapan secara langsung dengan agama, tapi berevolusi terus.
Saya percaya, asumsi-asumsi metafisis lain bisa ditunjukkan memiliki
karakter serupa. Di sisi lain, dalam sejarah sains dan filsafat modern,
kita bisa memberikan banyak contoh asumsi metafisis yang direvisi atau
bahkan dibuang, untuk mengakomodasi sains. Contohnya, keyakinan Kant
bahwa sistem geometri Euklid adalah sesuatu yang “given”; syarat mutlak
bagi pengalaman empiris, yang tanpanya kita tak dapat mengalami alam di
luar diri kita. Namun ketika ditunjukkan bahwa ada sistem geometri
non-Euklidian yang justru digunakan dalam perumusan teori relatifitas
umum Einstein, asumsi itu pun gugur.
Contoh lain adalah perdebatan mengenai karakter ruang antara penganut
substantivalisme dan relasionalisme. Dalam sistem Newton ruang dipahami
bersifat substantivalis. Dalam perdebatan Newton dengan Leibniz, kedua
alternatif ini ramai dibincangkan. Lalu teori relatifitas umum Einstein
dianggap menggugurkan substantivalisme. Namun, nyatanya, sampai kini
perdebatan itu tak kunjung berakhir, karena teori Einstein itu bisa
ditampilkan dengan latar belakang pandangan substantivalisme maupun
relasionalisme. Ini contoh pandangan yang bisa memecah-belah. Namun yang
kita lihat, ilmuwan tak perlu memiliki komitmen terhadap salah satu
dari dua pandangan tentang ruang ini. Teori relatifitas umum bisa
diterima kelompok substantivalis maupun relasionalis.
Dalam sejarah sains dalam Islam, ada contoh mirip. Ketika sekelompok
astronom Muslim memutuskan untuk membuang asumsi metafisis Ptolemy bahwa
bumi tak bergerak dan merupakan pusat alam semesta, mereka mampu
mengajukan sistem astronomi yang lebih akurat, mirip dengan yang kelak
diajukan Copernicus. Pertimbangan para astronom Muslim itu bukanlah
pertimbangan metafisis tapi semata-mata pertimbangan matematis dan
empiris. Menurut sejarawan sains Jamil Ragep, salah satu sumbangan
terbesar Muslim terletak pada upaya mereka untuk membebaskan astronomi
dari filsafat, atau dari asumsi-asumsi metafisis yang tak jelas dasar
empirisnya.
Secara umum, gerakan sains sesungguhnya bisa dipahami sebagai gerakan ke
arah objektifitas yang lebih tinggi, dengan sebisa mungkin membebaskan
sains dari asumsi-asumsi metafisis yang tak diperlukan. Yang ingin saya
simpulkan sampai di sini: jika suatu asumsi metafisis diperlukan, ia
harus bisa diterima seluruh anggota komunitas sains; dan jika ia memecah
belah, maka ia tak diperlukan dalam perumusan teori-teori sains. Sekali
lagi, ini karena sifat publik sains yang mementingkan kesepakatan. [2]
Kesimpulan berikutnya: Sains tidak bebas nilai, tapi netral secara
religius ( religiously-neutral ), karena nilai-nilai yang terlibat di
dalamnya bukanlah nilai-nilai yang diyakini kebenarannya, tapi lebih
berfungsi sebagai asumsi operasional yang dianut secara tentatif. Dengan
demikian, urgensi untuk mengajukan “sains Islam” sebagai jawaban atas
kelemahan-kelemahan yang dipersepsi ada dalam sains modern (yaitu
ketaksesuaiannya dengan agama, atau Islam khususnya) hilang dengan
sendirinya.
3. Ambiguitas sains
Sebagai ilustrasi dari kesimpulan ini, saya ingin membahas pandangan
Mehdi Golshani, fisikawan Iran (yang sempat popular di sini berkat
bukunya Filsafat Sains menurut al-Qur’an ). Dalam tulisannya “How to
Make Sense of Islamic Science” yang diterbitkan belum lama ini (
American Journal of Islamic Social Sciences , v. 17, no. 3, 2002), ia
membela gagasan sains Islam, namun mengkritik beberapa versinya.
Menurutnya, sains Islam bukanlah usulan untuk melakukan aktifitas sains
(eksperimentasi, observasi, teorisasi) dengan cara yang baru, atau
“secara Islami”. Namun ia meyakini adanya apa yang disebut “presuposisi
metafisis” sains yang dapat didasarkan atau menentang pandangan dunia
religius; ruang untuk presuposisi itulah yang baginya mesti diisi dengan
premis-premis Islami.
Ada beberapa contoh spesifik yang diajukannya, yang menurut saya justru
mendukung kesimpulan di atas bahwa sains itu religiously-neutral .
Misalnya, penjelasan untuk prinsip antropik (bahwa hukum-hukum fisika
beroperasi sedemikian hingga kehidupan bisa muncul di semesta ini). Dua
alternatif penjelasan untuk prinsip ini: ada amat banyak alam semesta,
sehingga tak mengherankan jika salah satunya kebetulan memiliki
syarat-syarat yang memungkinkan adanya kehidupan; atau, penjelasan lain,
hanya ada satu alam semesta, tempat kita hidup ini, yang sengaja
dirancang oleh suatu pencipta (yang amat dekat dengan teisme, karena si
pencipta itu bisa segera diidentifikasi dengan Tuhan). Ilmuwan ateis
seperti Peter Atkins cenderung kepada tafsiran banyak-alam ( many-worlds
interpretation ), yang logikanya mirip dengan evolusi makhluk hidup
melalui seleksi alam. Namun penjelasan pertama ini pun, seperti
ditunjukkan Golshani sendiri, bisa diberikan tafsir teistik: “kewujudan
banyak alam dengan konstanta yang amat berbeda sejalan dengan teisme:
Tuhan mungkin saja menciptakan banyak alam dengan
karakteristik-karakteristik yang berbeda”.
Contoh lain Golshani adalah teori evolusi Darwin. Tafsir yang amat
populer, seperti diajukan Richard Dawkins atau Daniel Dennett, adalah
bahwa teori ini telah menghilangkan keperluan merujuk kepada Tuhan
sebagai pencipta alam semesta. Namun sebagaimana Dawkins bisa memberi
tafsiran ateistik terhadap teori evolusi, ilmuwan Arthur Peacocke yang
beragama Kristen dapat pula memanfaatkan teori yang sama untuk mendukung
panenteismenya, yang menekankan kontinuitas tanpa henti dalam aktifitas
penciptaan Tuhan (melalui evolusi). Filosof Muslim Iqbal juga memiliki
pandangan yang mirip tentang aktifitas tanpa henti Tuhan yang terwujud
dalam evolusi ini.
Maka contoh-contoh Golshani semuanya sesungguhnya justru menunjukkan
ambiguitas sains: ia bisa diberi tafsiran ateistik, bisa pula diberi
tafsiran religius. Dengan kata lain, sains itu religiously-neutral.
Secara umum, kita bisa menemukan dalam setiap teori ilmiah yang
fundamental, yang mungkin memiliki implikasi religius, ambiguitas
semacam itu. Lalu mana yang benar dari berbagai penafsiran itu? Sampai
di sini sains sendiri tak bisa menjawabnya. Persis sebagaimana mekanika
kuantum bisa ditafsirkan sebagai mendukung determinisme (dalam tafsir
David Bohm), ia juga bisa dianggap menghancurkannya (penafsiran
Kopenhagen), dan secara prinsipil observasi empiris semata tak dapat
memutuskan tafsiran mana yang benar. Ketakmampuan sains berpihak pada
salah satu dari banyak alternatif, bagi saya, justru menunjukkan bahwa
ia bebas-nilai, sejauh menyangkut kepercayaan agama. Karena itu, cukup
mengherankan kalau Golshani kemudian membela gagasan “sains Islam”.
Pelajaran yang bisa ditarik di sini adalah pentingnya pembedaan antara
teori-teori sains dengan tafsiran filosofisnya. Ini perlu ditegaskan
karena beberapa hal. Pertama, di kalangan penganjur maupun penentang
gagasan “sains Islam” keduanya kerap jumbuh, sehingga memunculkan
gambaran yang keliru tentang sains. Termasuk di dalamnya adalah kesan
bahwa sains modern (yaitu satu-satunya jenis sains yang diajarkan di
universitas-universitas Indonesia) sifatnya tak Islami. Kalau saja
gagasan ini tersebar luas, tak akan mengherankan jika ini menimbulkan
problem psikologis yang serius di kalangan pelajar Muslim.
Dalam hal ini, salah satu tantangan terhadap umat Islam dalam bidang
sains bukanlah dari (teori-teori atau kandungan) sains itu sendiri, tapi
dari tafsiran filosofisnya. Khususnya, ini berkaitan dengan pemahaman
yang keliru bahwa sains itu secara inheren bersifat sekular-anti agama
(sehingga perlu di-desekularisasi) atau bahwa sains modern itu tidak
Islami (sehingga perlu diislamisasikan). Maraknya tafsiran ateistik dari
ilmuwan seperti Dawkins dan Dennett atau Peter Atkins tak menunjukkan
perlunya kita “memerangi” sains. Upaya-upaya menciptakan sains
alternatif justru mengesankan bahwa seolah-olah tafsiran ateistik
tersebut adalah satu-satunya tafsiran yang sah, yang identik dengan
sains itu sendiri. Religiusitas ilmuwan-ilmuwan seperti Einstein,
Schrodinger, Bohm yang begitu kentara lalu menjadi sekadar “sempalan”.
Padahal penulis sejarah lain di masa depan bisa saja memandang
kecenderungan religius ini, yang tak pernah hilang dalam setiap periode
sejarah sains, justru sebagai mainstream .
Lebih jauh, jika memang tafsiran ateistik itu yang merupakan ”musuh”
kita, sesungguhnya kita punya sekutu penting yang bisa hilang kalau kita
melulu berbicara soal “sains Islam”. Yaitu umat-umat beragama lain yang
memiliki keprihatinan yang sama, dan yang, dalam beberapa hal, sudah
maju cukup jauh dalam diskursus sains dan agama. Dalam konteks ini, saya
melihat gagasan “sains Islam” lebih sebagai upaya penegasan identitas
yang tak terlalu perlu. Penegasan identitas adalah proyek ideologis
untuk menarik garis yang tegas antara “kita” dan kelompok-kelompok
lain—bukan proyek pemberdayaan.
Sejalan dengan aspirasi objektifitas yang disinggung di atas, kalaupun
sains dianggap tak objektif karena mengandung ideologi tertentu
(positifisme, naturalisme, dan sebagainya), yang kita perlukan adalah
de-ideologisasi sains. Sains perlu dibebaskan dari segala ideologi—baik
ideologi religius ataupun yang anti-religius. Dalam menjalankan upaya
ini kita bisa dengan mudah mendapatkan banyak kawan beragam dari
kelompok-kelompok lain
4. De-ideologisasi sains dan objektifikasi Islam
Untuk mengakhiri makalah ini, saya ingin mengajukan gagasan Kuntowijoyo
tentang objektifikasi Islam, yang diajukannya sebagai jalan tengah dalam
perdebatan antara Islam dan sekularisme politik. ( Selamat Tinggal
Mitos, Selamat datang Realitas , Mizan, Juli 2002) Saya melihat, tak
hanya dalam politik, dalam sains pun gagasan Kunto itu dapat
diberlakukan.
Seperti disinggung di awal makalah ini, analogi negara dengan sains bisa
ditarik, karena keduanya memiliki satu karakteristik penting yang sama:
keduanya adalah upaya publik. Dalam pemahaman pasca-positifis, sains
dipahami terutama sebagai aktifitas sosial. Sains disebut objektif bukan
karena ia merepresentasikan objek sebagaimana adanya ( noumena ), namun
karena ilmuwan yang satu bersepakat atas hasil-hasil observasi yang
dilakukan ilmuwan lain. Data-data empiris adalah sesuatu yang sifatnya
publik, karena itu bisa diverifikasi bersama-sama. Kesepakatan komunitas
ini jelas tak identik dengan kebenaran, dan karena itulah teori-teori
sains bisa jatuh bangun. Jatuh bangunnya teori-teori sains itu merupakan
bukti bahwa sistem ini, dengan segala ketaksempurnaannya, bisa bekerja
cukup baik.
Dalam tulisan-tulisannya sejak beberapa tahun silam, Kuntowijoyo kerap
berbicara tentang peralihan dari periode ideologi ke periode ilmu.
Aspirasi negara atau partai Islam adalah indikasi umat Islam berada
dalam periode ideologi. Gagasan Nurcholish “Islam Yes, Partai Islam No”
30 tahun yang silam adalah upaya transisi ke periode ilmu (yang tak
sepenuhnya berhasil). Peralihan ke periode ilmu, menurut Kunto, ditandai
dengan upaya objektifikasi, yang mengandung tiga hal: (a) artikulasi
politik dikemukakan melalui kategori-kategori objektif; (b) pengakuan
penuh kepada keberadaan segala sesuatu yang ada secara objektif; dan (c)
tak lagi berpikir kawan-lawan, tapi perhatian ditujukan pada
permasalahan bersama.
Seperti saya singgung di atas, aspirasi “sains Islam” pun tampaknya juga
lebih merupakan proyek ideologis. Bagaimana menerapkan gagasan Kunto
dalam konteks ini? Point (a): Di atas saya telah menyebutkan bahwa sains
tak bebas-nilai, tapi nilai-nilai yang dianutnya adalah nilai-nilai
yang disepakati bersama, yang tak memecah belah komunitas sains. Karena
itu, nilai-nilai apapun, termasuk nilai-nilai Islam, jika ia ingin
dimasukkan sebagai bagian sains, mesti tampil sebagai sesuatu yang
objektif, yang bisa disepakati bersama, dan sebagai sesuatu yang memang
diperlukan. Caranya adalah dengan menampilkannya sebagai sesuatu yang
rasional, yang sumber justifikasinya bukan hanya berasal dari wahyu atau
kitab suci secara langsung. Karena komunitas sains adalah suatu
komunitas sosial, meyakinkan anggota-anggota lain dalam komunitas
dilakukan melalui komunikasi rasional. Membawa label-label Islam dalam
komunitas pluralistik (ateis, Kristen, Yahudi, Islam, dan sebagainya)
seperti itu tak akan efektif. Komunitas pluralistik inilah yang
keberadaannya harus diakui dalam point (b) di atas.
Sebagai penjelasan point (c), Kunto menyarankan untuk, “melepaskan diri
dari pikiran ‘kita versus mereka’”. Penempelan label-label eksklusif
seperti “Islami” memang akan mengarah pada identifikasi ‘kita versus
mereka’, dan kerap justru melupakan kita dari persoalan yang
sesungguhnya. Khususnya di saat umat Islam tertinggal amat jauh dalam
perkembangan sains, eksklusifitas “sains Islam” sungguh tak
menguntungkan.
Sesungguhnya, karena keragaman Muslim dan keragaman epistemologi Islam,
seperti saya singgung di awal makalah ini, perlu diingatkan bahwa di
antara sesama Muslim pun, ada keragaman luar biasa dalam memahami Islam.
“Sains Islam” suatu kelompok Muslim bisa berbeda jauh dengan “sains
Islam” kelompok Muslim lain. Sementara label Islam tak menjamin
kebenarannya (atau kesetiaannya terhdap ajaran Islam yang sesungguhnya),
jalan komunikasi satu-satunya adalah melalui objektifikasi, melalui
percakapan dalam kategori-kategori objektif, yang bisa disepakati
bersama.
Dengan demikian, kembali ke gagasan Kunto, kalau kita perlu slogan, bisa
dikatakan yang diperlukan adalah objektifisasi atau rasionalisasi
Islam, bukan “Islamisasi sains”. Namun slogan tak perlu, karena ia
biasanya lebih efektif sebagai sarana provokasi, dan sekaligus lebih
mudah memancing kesalahpahaman. Yang penting adalah inti ajakan itu:
Bahwa yang diperlukan Muslim saat ini bukanlah menempatkan diri di luar
komunitas sains dunia (seraya mengritiknya habis-habisan), tapi masuk ke
dalam komunitas itu. [3]
Sebagaimana saat ini tampaknya sudah disadari banyak Muslim bahwa
keislaman kita tak kurang kaaffah tanpa memiliki negara Islam, demikian
pula, keislaman kita tak kurang kaaffah tanpa memiliki sains Islam.
“Islam adalah rahmat bagi alam semesta” mesti dipahami sebagai prinsip
universalitas Islam: Bahwa ajaran-ajaran Islam dapat dipahami dan
dirasakan manfaatnya untuk semua orang. Objektifikasi adalah jalan ke
arah itu.
[1] Sebagai disclaimer awal, perlu dikemukakan di sini bahwa ketika
“sains” disebut dalam makalah ini, yang terutama dimaksudkan adalah
ilmu-ilmu alam. Argumen-argumen yang diajukan di sini sampai tingkat
tertentu berlaku pula untuk ilmu-ilmu sosial, namun ada
perbedaan-perbedaan penting di antara keduanya, yang tak akan dibahas di
sini. Pendeknya, ketika “sains” disebut, yang mesti dibayangkan adalah
ilmu-ilmu alam. Untuk keperluan menunjukkan tak bebas nilainya
ilmu-ilmu, ilmu alam biasanya dianggap sebagai kasus yang lebih sulit
ketimbang ilmu sosial, sehingga jika bisa ditunjukkan bahwa ilmu-ilmu
alam pun, khususnya fisika, tak bebas nilai, apalagi ilmu-ilmu sosial,
di mana keterlibatan subjek pengamat dengan objeknya lebih intens.
[2] Kasus adanya beberpa penafsiran atas mekanika kuantum merupakan
ilustrasi lain untuk kesimpulan ini. Mekanika kuantum diterima fisikawan
tanpa mensyaratkan komitmen kepada salah satu penafsirannya.
[3] Dalam konteks ini, amat menarik mencatat pernyataan Munawar Ahmad
Anees, yang sempat dikenal sebagai pengajur sains Islam bersama Ziauddin
Sardar. Dalam kolomnya di Civilization belum lama ini (February/March
2000), ia menyebut bahwa dilihat dengan lebih teliti, upaya-upaya
Islamisasi dan penciptaan sains Islami “tampak setengah matang dan
parokial ( cliquish) .” Selanjutnya: “Isyarat jelas untuk kondisi yang
patut disesalkan ini [lemahnya gerakan ilmiah Muslim] adalah absennya
negara-negara Muslim dalam salah satu upaya ilmiah terbesar umat manusia
sepanjang sejarah, Projek Genome Manusia.”
http://www.crcs.ugm.ac.id/staffile/zab/makalah_untuk_seminar_epistemologi_islam.htm
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
0901P-EPISTEMOLOGI ISLAM DAN INTEGRASI ILMU PENGETAHUAN PADA
UNIVERSITAS ISLAM: Epistemologi Islam dan Proyek Reformasi Kurikulum1
Dipresentasikan pada seminar yang diselenggarakan hari Sabtu, tanggal 7 Pebruari 2009, di Universitas
Muhammadiyah Makassar oleh Professor Dr. Omar Hasan Kasule Sr. MB ChB (MUK), (MPH) Harvard,
DrPH(Harvard) Professor Epidemiologi dan Kedokteran Islam Universitas Brunei Darussalam dan Profesor
Tamu Epidemiologi Universitas Malaya. EM omarkasule@yahoo.com WEB: http://omarkasule.tripod.com
ABSTRAK
Makalah ini berdasarkan tesis bahwa reformasi epistemologis sangat penting untuk
pendidikan yang bermutu. Makalah ini dimulai dengan meringkas konsep dasar dan
paradigma epistemologi Islam dan metodologi penelitian. Selanjutnya membahas krisis
terkini menyangkut pengetahuan dan pendidikan umat, yaitu rendahnya motivasi belajar,
serta kurangnya rasa cinta dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Solusi dari krisis
pendidikan akan diawali dengan perbaikan epistemologis dalam setiap disiplin ilmu
pengetahuan. Perbaikan epistemologis didefinisikan sebagai identifikasi bias-bias paradigma
dasar dan metodologi penelitian yang mencerminkan cara pandang dunia yang tidak tauhid.
Hal ini diikuti pula dengan pembentukan kembali konsep dasar epistemologis dan paradigma
dari berbagai disiplin ilmu dari paradigma tauhid yang bercirikan objektivitas, istiqamat al
ma’arifat, dan penyeragaman, ‘aalamiyyat al ma’arifat dari pengetahuan. Makalah ini
mendeskripsikan dengan jelas pendekatan-pendekatan penting dalam setiap disiplin ilmu
pengetahuan. Kesimpulan makalah ini adalah bahwa kualitas belajar dan penelitian akan
tercapai setelah ada perbaikan epistemologis, yang dapat mendorong peserta didik dan
pengajar untuk mengejar pengetahuan dalam bingkai tauhid yang membentuk cara pandang
terhadap dunia dan nilai-nilai dalam diri mereka.
KONSEP EPISTEMOLOGIS DASAR
Apakah yang Dimaksud dengan Epistemologi Islam ?. nadhariyat al ma’arifat al islamiyyat
Epistemologi adalah ilmu pengetahuan, ‘ilm al ‘ilm. Mempelajari asal-usul, hakikat dan
metode sebuah ilmu pengetahuan dengan tujuan mendapatkan keyakinan. Epistemologi
Islam, nadhariyyat ma’rifiyyat Islamiyyat, didasarkan pada paradigma tauhid. Parameter
tetapnya adalah dari wahyu, wahy. Parameter tidak tetapnya disesuaikan oleh keadaan waktutempat
yang bervariasi. Sumbernya adalah wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah), observasi dan
percobaan empiris, serta alasan kemanusiaan. Sekarang ini, tantangan utamanya adalah
meraih obyektivitas, al istiqamat, yaitu tetap pada jalan kebenaran dan tidak dapat
digoyahkan oleh tingkah laku dan hawa nafsu. Istiqamat hanya datang setelah iman, seperti
sabda Rasulullah qul amantu bi al laahi thumma istaqim’.
1.2 Hakikat Ilmu Pengetahuan, tabi’at al ma’arifat al insaniyyat
Istilah Al Qur’an untuk ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm, ma’arifat, hikmat, basiirat, ra’ay,
dhann, yaqeen, tadhkirat, shu’ur, lubb, naba’, burhan, dirayat, haqq, dan tasawwur. Istilah
1 Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ummi Ashim Azzahra dan Anisa Eka Trihastuti, Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang,
cp : 081318681994, e‐mail : yusibnuyassin@yahoo.com
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
2
untuk kekurangan ilmu pengetahuan adalah: jahl, raib, shakk, dhann, dan ghalabat al dhann.
Tingkatan ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm al yaqeen, ‘ayn al yaqeen, dan haqq al yaqeen.
Pengetahuan dihubungkan dengan iman, ‘aql, qalb, and taqwah. Al Qur’an menegaskan
dasar pengetahuan yang nyata, hujjiyat al burhan. Tempat ilmu pengetahuan adalah akal dan
kalbu. Pengetahuan Allah adalah tidak terbatas, sedangkan pengetahuan manusia sangat
terbatas. Setiap orang memiliki pengetahuan yang berbeda-beda. Pengetahuan adalah milik
umum yang tidak bisa disembunyikan atau dimonopoli. Manusia, malaikat, jin dan makhluk
hidup lainnya mempunyai jumlah pengetahuan yang bervariasi. Pengetahuan bisa menjadi
abadi, contohnya ilmu yang diwahyukan. Jenis-jenis lain pengetahuan bersifat relatif, nisbiyat
al haqiqat. Hakikat yang mungkin dari ilmu pengetahuan muncul dari keterbatasan
pengamatan manusia dan interpretasi dari fenomena fisik.
1.3 Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan, masadir al ma’arifat:
Wahyu, wahy, kesimpulan, akal, dan pengamatan empiric dari alam semesta, kaun, adalah
sumber-sumber umum dari pengetahuan yang diterima oleh orang-orang beriman. Dalam
pengertian kuantitas, yang pertama adalah pengetahuan empiric, ‘ilm tajriibi. Dalam
pengertian kualitas, yang pertama adalah ilmu yang diwahyukan ilmu dan wahyu,. Ada
hubungan erat dan ketergantungan antara wahyu, pengamatan empiris, dan kesimpulan. Akal
dibutuhkan untuk memahami wahyu dan mencapai kesimpulan dari pengamatan empiris.
Wahyu melindungi akal dari kesalahan dan menyediakan informasi tentang suatu hal yang
tidak kasat mata. Akal tidak bisa memahami secara penuh dunia yang empiris tanpa bantuan.
1.4 Klasifikasi Ilmu Pengetahuan, tasnif al marifat
Pengetahuan bisa diwariskan atau dipelajari. Bisa aqli atau naqli. Bisa berupa pengetahuan
yang terlihat, ‘ilm al syahadat, dan pengetahuan yang tidak terlihat, ‘ilm al ghaib. Yang tidak
terlihat bisa mutlak, ghaib mutlaq, atau relative, ghaib nisbi. Mempelajari ilmu pengetahuan
bisa berupa kewajiban individu, fard ‘ain, sedangkan yang lain adalah kewajinban kolektif,
fard kifayat. Pengetahuan bisa sangat berguna, ‘ilmu nafiu, menjadi dasar, atau diaplikasikan.
Ada banyak disiplin ilmu yang berbeda. Disiplin-disiplin tersebut terus berubah seiring
dengan pengembangan pemahaman dan ilmu pengetahuan. Sebuah disiplin didefinisikan dan
dibatasi oleh metodologinya.
1.5 Keterbatasan Pengetahuan Manusia, mahdudiyat al marifat al bashariyyat
Al Qur’an dalam banyak ayat telah mengingatkan manusia bahwa pengetahuan mereka dalam
semua lingkungan dan disiplin ilmu sangat terbatas. Akal manusia bisa dengan mudah
diperdaya. Kecerdasan manusia memiliki keterbatasan dalam menginterpretasikan persepsipersepsi
sensorik yang benar. Manusia tidak bisa mengetahui hal-hal tak kasat mata, ghaib.
Manusia bisa berfungsi dalam waktu yang terbatas. Masa lalu dan masa depan diyakini tidak
dapat diketahui. Manusia menjalankan fungsi dalam kecepatan yang terbatas baik pada level
konseptual maupun sensorik. Ide-ide tidak dapat dikeluarkan dan diproses jika mereka
dihasilkan terlalu lambat atau terlalu cepat. Manusia tidak mampu memvisualisasikan
peristiwa-peristiwa yang sangat lambat atau terlalu cepat. Peristiwa yang sangat lambat
seperti revolusi bumi atau rotasi bumi tidak dapat dirasakan kejadiannya. Memori manusia
sangat terbatas. Pengetahuan yang dipelajari bisa saja hilang atau mungkin lenyap secara
keseluruhan. Manusia akan menjadi sangat berpengetahuan jika mereka mempunyai memori
yang sempurna.
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
3
2.0 METODOLOGI ILMU PENGETAHUAN, manhaj al ma’arifat
2.1 Konsep-Konsep
Metodologi dimulai dengan penamaan Adam dan pengklasifikasian semua benda yang diikuti
oleh penemuan hasil percobaan-percobaan dan investigasi metodologis sistematis terkini.
Terinspirasi oleh Al Qur’an, umat Muslim mengembangkan metodologi empiris ilmiah yang
menyebabkan timbulnya reformasi Eropa, Renaissance, serta revolusi ilmiah dan teknologi
yang dimulai pada awal abad 16. Francis Bacon (1561-1626), orang Eropa yang pertama kali
menulis secara sistematis tentang metodologi empiris yang diinspirasi oleh kaum Muslim di
Eropa pada masanya. Orang-orang Eropa meniru metodologi empiris tanpa konteks
ketauhidan, menolak wahyu sebagai sumber pengetahuan, dan nantinya memaksakan hasil
tiruan buruk berupa ilmu pengetahuan sekuler kepada umat Islam di seluruh dunia. Ahli
Muslim kuno telah menunjukkan bahwa wahyu, akal dan pengalaman sangatlah tepat dan
telah menggunakan peralatan metodologis dari Al Qur’an untuk mengoreksi dan
mengembangkan ilmu pengetahuan Yunani sebelum menyebarkannya ke Eropa. Mereka
mengganti logika deduktif Aristoteles dan definisinya dengan sebuah logika induktif Islam
yang diinspirasi oleh Al Qur’an.
2.2 Metodologi dari Al Qur’an, manhaj qur’ani
Al Qur’an menyediakan prinsip-prinsip umum yang membimbing dan bukan pengganti
penelitian empiris. Kitab ini menggabungkan pengamatan empiris; membebaskan pikiran dari
keragu-raguan, taklid buta, ketergantungan intelektual, dan hawa nafsu. Paradigma tauhidnya
menjadi dasar dari hubungan sebab akibat (kausalitas), rasionalitas, perintah, prediksi,
penemuan, obyektivitas, dan hukum alam. Hukum bisa diketahui melalui wahyu, pengamatan
empiris dan eksperimen. Para ahli Qur’an mengajarkan metodologi induktif, pengamatan
empiris, nadhar & tabassur; interpretasi, tadabbur, tafakkur, i’itibaar & tafaquhu; dan
pengetahuan yang terbukti, bayyinat & burhan. Al Qur’an melarang asal ikut-ikutan, taqliid,
prasangka, , dhann; dan keinginan pribadi, hawa nafsu. Konsep Al Qur’an dari istiqomat
menghasilkan kepercayaan dan pengetahuan yang tidak bias. Konsep Al Qur’an dari istikhlaf,
taskhir, dan isti’imar adalah dasar dari teknologi. Konsep dari ‘ilm nafei menggarisbawahi
perintah untuk mengubah pengetahuan dasar menjadi teknologi yang bermanfaat.
2.3 Metodologi dari Sains Islam Klasik
Ilmu pengetahuan klasik beserta konsepnya dapat diaplikasikan ke dalam IPTEK. Tafsir ilmu
dan tafsir mawdhu’e interpretasi data paralel pada penelitian empiris. ‘Ilm al nasakh
menjelaskan bagaimana data-data baru memperbaharui teori-teori yang lama tanpa
membuatnya tidak berguna sama sekali. ‘Ilm al rijaal dapat menguatkan keyakinan para
peneliti. ‘Ilm naqd al hadith menanamkan perilaku ‘membaca kritis’ literatur sains. Qiyaas
adalah analogi alasan-alasan. Istihbaab aplikasi berkelanjutan dari sebuah hipotesis atau
hukum ilmu pengetahuan sampai menemukan bukti. Istihsan dapat dibandingkan dengan
intuisi ilmiah. Istislah adalah penggunaan kepentingan umum untuk membuat keputusan atas
banyak pilihan, contohnya teknologi pengobatan. Ijma adalah kesepakatan yang ditetapkan
oleh para ilmuwan empiris. Maqasid as syari’ah adalah alat konsep untuk menyeimbangakan
penggunaan S&T. Qawaid as syari’ah adalah aksioma yang menyederhanakan operasi logika
kompleks dengan membangun aksioma tanpa melewati derivasi detail.
2.4 Kritik Islami Mengenai Metode Empiris, naqd al manhaj al tajribi
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
4
Dengan alat metodologis berupa Al Qur’an dan Sains Islam klasik, umat Muslim
mengembangkan sebuah metodologi empiris dan induktif baru dalam bentuk qiyaas usuuli
dan juga mengawali metode empiris dengan eksperimen dan pengamatan sistematis, seperti
yang dicontohkan oleh hasil kerja Ibn Hazm tentang mata. Mereka mengkritik metodologi
Yunani Kuno adalah metodologi yang abstrak, hipotetis, meremehkan pengetahuan mudah,
dan berdasarkan logika deduktif. Mereka menerima metode ilmiah Eropa dari pembentukan
dan pengujian hipotesis, tetapi menolak asumsi filosofisnya: materialisme, pragmatisme,
atheisme, penolakan wahyu sebagai sumber pengetahuan, kekurangseimbangan, penolakan
dualitas raga dan jiwa, kurangnya manfaat manusia, kurangnya penyatuan paradigma seperti
tauhid, dan menjadi Euro-centric (condong ke Eropa) dan tidak menyeluruh. Orang-orang
Eropa menyatakan metodologinya akan lebih terbuka, akurat, tepat, objektif, dan netral
secara moral, tetapi hanya sebatas pengamatan dan tidak dipraktekkan. Dengan angkuhnya,
hal tersebut dianggap sebagai kemungkinan absolut dan pengetahuan empiris yang relative
berdasar pada kelemahan pengamatan dan interpretasi manusia.
3.0 KRISIS PENGETAHUAN dan PENDIDIKAN, azmat al ma’arifat wa al ta’aliim
3.1 Manifestasi Krisis
Ada anggapan pemisahan antara uluum al diin dan uluum al dunia . Perhatian terhadap
terhadap beasiswa sangatlah kecil. Kekayaan dan kekuasaan dianggap lebih penting dari
beasiswa. Ada banyak hal yang dilalaikan oleh sains empiris. Terdapat dikotomi dalam
sistem pendidikan: Islam Tradisional vs. Eropa, ulum al diin vs ulum al dunia. Integrasi dari
2 sistem itu sangat sulit atau bahkan telah gagal karena bersifat mekanis bukan konseptual.
Proses sekulerisasi dalam pendidikan telah menggeser dimensi moral dari pendidikan dan
merusak tujuan pendidikan Islami untuk mencipatakan individu yang utuh dan sempurna,
insan kaamil. Kegagalan otak Negara-negara Islam telah bercampur aduk menjadi krisis
pendidikan.
3.2 Ketidakberdayaan Umat karena Krisis Ilmu Pengetahuan
Kurangnya pengetahuan dan kelemahan intelektual adalah wujud nyata yang paling
signifikan dari keterbelakangan ummat. Krisis intelektual ummat diperparah oleh peniruan
dan penggunaan ide-ide serta konsep asing yang disusun secara buruk. Rasulullah
memperingatkan umat tentang fenomena lubang kadal (lizard-hole) di mana ummat nantinya
akan mengikuti / mengekor musuhnya tanpa bertanya, bagai kadal menuju lubangnya.
Contoh-contoh wujud ketidakberdayaan ummat adalah berupa kemiskinan, kelemahan
politik, ketergantungan ekonomi, kelemahan militer, ketergantungan pada iptek, dan
pengikisan identitas keIslaman dalam gaya hidup.
3..3 Latar Belakang Sejarah
Generasi Rasulullah saw adalah generasi yang terbaik. Guru terbaik bertemu dengan murid
terbaik dan menghasilkan kesempurnaan. Para Shahabat memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang luar biasa. Benih dari krisis yang sedang terjadi akhir-akhir ini muncul
sejak akhir khilafat rashidat. Serangan sosial dan politik meruntuhkan khilafat rashidat dan
prinsip-prinsip ideal yang merepresentasikannya dihentikan atau bahkan diganti. Kenudian,
ajaran ulama dan opini pemimpin yang melanjutkan perjuangan kebenaran prinsip-prinsip
Islam dibatasi dan dipenjara. Stagnansi intelektual mulai muncul. Proses sekularisasi Negara
Muslim mengalami kemajuan. Kelalaian dan buta huruf yang tersebar luas menjadi hal biasa.
Banyak ide dan fakta dari kaum non-Muslim tanpa bukti yang bisa dipercaya telah
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
5
menemukan jalan mereka merasuki warisan intelektual dan agama ummat, hingga
menciptakan krisis intelektual yang semakin bertambah parah.
4.0 LANGKAH AWAL MENUJU REFORMASI EPISTEMOLOGIS
4.1 Pengetahuan, sebuah Syarat Wajib untuk tajdid
Reformasi dan kebangkitan ummat akan terjadi melalui reformasi pendidikan dan
pengetahuan. Tajdid adalah sebuah fenomena penyelamatan ummat sekaligus menjadi tanda
sehat dan dinamisnya ummat ini. Hal tersebut merupakan karakteristik dasar ummat masa
reformasi/kebangkitan yang menggeser masa kemunduran ke zaman jahiliyah. Tajdid
mensyaratkan pengetahuan, ide-ide dan tindakan yang dirumuskan dengan persamaan
matematika berikut ini: tajdid = ide + tindakan. Tindakan tanpa pengetahuan dan akal yang
dibimbing tidak akan membawa perubahan yang baik. Gagasan tanpa tindakan tidak akan
merubah apapun. Tajdid mensyaratkan dan diikuti oleh sebuah reformasi ilmu pengetahuan
untuk menyediakan gagasan dan motivasi untuk membangun. Semua reformasi sosial yang
sukses dimulai dengan perubahan ilmu pengetahuan. Masyarakat ideal tidak bisa diciptakan
tanpa ada dasar pengetahuan. Dasar pengetahuan harus benar, relevan, dan bermanfaat.
Sejarah pergerakan kebangkitan Muslim yang sukses selalu dipimpin oleh para akademisi.
4.2 Sebuah Strategi Pengetahuan Baru, nahwa istratijiyyat ma’arifiyyat jadiidat
Umat Muslim merupakan aset ekonomi dan politik yang mempunyai potensi besar namun
belum terealisasi. Perkembangan tajdid modern memiliki banyak kelebihan, tetapi juga
mempunyai kekurangan dasar yang harus diperbaiki. Krisis pengetahuan dan intelektual
masih menjadi sebuah penghalang. Pergerakan reformasi yang tidak diarahkan oleh
pengetahuan dan pemahaman yang benar akan lenyap dan gagal atau disingkirkan dari jalan
mereka. Perubahan sosial menuntut adanya perubahan perilaku, nilai, kepercayaan dan
tingkah laku dari sebuah massa kritis dalam populasi. Perilaku, nilai, kepercayaan dan
tingkah laku ditentukan oleh dasar pengetahuan. Visi dari strategi pengetahuan adalah
seorang manusia yang kokoh mengenal Sang Penciptanya, memahami kedudukannya,
perannya, haknya, dan kewajibannya dalam tata alam semesta (cosmic order). Misi dari
strategi pengetahuan adalah transformasi konseptual sistem pendidikan dari TK hingga
pendidikan pasca sarjana yang mencerminkan tauhid, nilai moral yang positif, obyektivitas,
universalitas, dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.
4.3 Menuju ke Arah Metodologi Islam, nahwa manhajiyyat ‘ilmiyyat islamiyyat
Tauhid yang universal, objektif, dan metodologi yang jelas harus menggantikan Eropa-sentris
dan konteks filosofi yang bias/semu, bukan metode praktis experimental. Aturan-aturan dari
ilmu tauhid adalah: persatuan pengetahuan, menyeluruh; hubungan sebab akibat adalah dasar
dari tindakan manusia, pengetahuan manusia yang terbatas, investigasi hubungan sebab
akibat yang didasarkan pada hukum alam yang konstan dan sesuai, harmoni antara yang
terlihat dan tidak terlihat, 3 sumber pengetahuan (wahyu, akal, dan pengamatan empiris);
khilafat; akuntabilitas moral; makhluk dan ciptaanNya mempunyai tujuan, kebenaran adalah
mutlak dan relatif, keinginan bebas manusia adalah dasar dari akuntabilitas, dan tawakal.
5.0 REFORMASI EPISTEMOLOGI : KONSEP & PRAKTEK
5.1 Konsep Reformasi:
Reformasi pengetahuan adalah sebuah proses pemilihan kembali kumpulan pengetahuan
manusia agar sesuai dengan kepercayaan dasar dari ‘aqidat al tauhid. Proses reformasi bukan
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
6
untuk penemuan kembali roda pengetahuan, tetapi untuk perubahan, perbaikan, dan
reorientasi. Hal ini bersifat evolutif, bukan revolutif; serta bersifat korektif dan reformatif.
Ini adalah langkah awal dalam sistem pendidikan sebagai awal untuk memperbaiki
masyarakat.
5.2 Sejarah reformasi
Abad 2-3 H menjadi saksi kegagalan usaha transfer pengetahuan. Pengetahuan ilmiah Yunani
disalurkan kepada kamu Muslim bersamaan dengan filosofi Yunani dan pemikiran yang
menyebabkan kebingungan dalam aqidah. Ilmu Yunani lebih bergantung pada deduksi
filosofikal dari pada induksi yang berdasarkan eksperimen. Hal ini tidak menguatkan tarbiyat
ilmiah dari Al Qur’an yang menegaskan observasi akan hakikat sebagai dasar untuk
mengambil kesimpulan. Pergerakan reformasi pengetahuan yang terbaru pada akhir abad 14
H bertujuan pada pendirian sebuah sitem pendidikan yang berdasarkan tauhid.
5.3 Reformasi Disiplin ilmu:
Reformasi harus mulai dengan menata ulang epistemology, metodologi, dan kumpulan
pengetahuan dari setiap disiplin ilmu. Harus pro-aktif, akademik, metodologis, obyektif dan
praktis. Visinya adalah pengetahuan yang objektif, umum dan bermanfaat dalam konteks
interaksi manusia yang harmonis dengan llingkungan fisik, sosial, dan spiritual. Misi
praktisnya adalah transformasi paradigma, metodologis, dan penggunaan disiplin ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan tauhid. Tujuan langsungnya adalah: (a) perbaikan
paradigma disiplin ilmu yang ada untuk merubah mereka dari sebatas ritual sempit menjadi
bertujuan luas (obyektivitas universal) , (b) rekonstruksi paradigma yang menggunakan
pedoman yang objektif dan universal, (c) Klasifikasi kembali disiplin untuk mencerminkan
nilai tauhid yang universal, (d) perbaikan metodologi penelitian agar menjadi objektif,
bermanfaat, dan mudah dipahami (e) pertumbuhan pengetahuan dengan penelitian, dan (f)
menanamkan aplikasi pengetahuan yang benar secara moral. Al Qur’an memberikan prinsip
umum yang membangun objektivitas dan melawanan metodologi penelitian yang tidak jelas.
Hal ini menciptakan cara pandang dunia yang memperkuat penelitian untuk memperpanjang
batas pengetahuan dan pemanfaatannya bagi seluruh alam semesta. Ilmuwan didorong untuk
bekerja dengan parameter Al Qur’an untuk memperluas batas pengetahuan melalui
penelitian, dasar, aplikasi.
5.4 Kesalahpahaman Mengenai Proses Reformasi
Reformasi telah salah dipahami sebagai bentuk penolakan dari sekumpulan pengetahuan dan
disiplin manusia yang sudah ada. Kesalahpahaman ini sebagai wujud sempitnya pengetahuan
kaum Muslim. Anggapan salah tersebut dikarenakan buku-buku teks yang ada ditulis kembali
dengan tema Islami tanpa pemikiran yang mendalam tentang paradigma dan metodologi. Hal
ini juga memenjarakan reformasi spiritual para pelajar, para akademik, dan peneliti.
Pendekatan luar berikut ini telah dicoba untuk reformasi dan gagal: Menyisipkan ayat Al
Qur’an dan Al hadist dalam tulisan orang-orang Eropa dan sebaliknya, pencarian fakta ilmiah
dari Al Qur’an, pencarian bukti Al Qur’an dari fakta ilmiah, memperlihatkan mukjizat Al
Qur’an, pencarian hubungan antara konsep Islam dan Eropa, penggunaan Islam dalam
terminologi / istilah-istilah Eropa, dan penambahan gagasan untuk kumpulan ilmu
pengetahuan Eropa.
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
7
5.5 Langkah-langkah Praktis / Tugas dari Proses Reformasi:
Langkah pertama adalah sebuah membuat pondasi yang baik dalam ilmu Islam metodologis
usul al fiqh, ‘uluum al Qur’an, ulum al hadith, dan ‘uluum al llughat. Diikuti dengan
membaca Al Qur’an dan sunnah dengan pemahaman perubahan dimensi ruang dan waktu.
Diikuti dengan klarifikasi masalah-masalah epistemologi dasar dan hubungan-hubungan:
wahyu dan akal, gaib dan shahada, ilmu dan iman. Diikuti oleh sebuah kritik Islami dari
paradigma dasar, asumsi-asumsi dasar, dan konsep dasar dari berbagai disiplin ilmu yang
menggunakan kriteria metodologi dan epistemologi Islami. Penilaian Islami atas buku-buku
teks dan materi pengajaran yang sudah ada, kemudian berusaha mengidentifikasi pahampaham
yang menyimpang dari pengertian dasar tauhid dan metodologi Islami.
Hasil awal dari proses reformasi adalah pengenalan Islam dalam disiplin ilmu, muqaddimat
al ‘uluum, pembangunan prinsip-prinsip dasar Islam dan paradigma yang menentukan dan
mengatur metodologi, isi, dan pengajaran disiplin ilmu. Hal ini berhubungan dengan
‘Introduction to History’ milik Ibn Khaldun, muqaddimat mempresentasikan penyamaan dan
konsep metodologis dalam peristiwa bersejarah. Publikasi dan penilaian buku-buku teks baru
dan pengajaran material lainnya adalah sebuah langkah yang penting dalam reformasi,
dengan menyerahkannya di tangan para pengajar dan pelajar yang telah mengaalami
reformasi. Pengembangan pengetahuan dasar yang teraplikasi dalam IPTEK akan menjadi
tahap terakhir dari proses reformasi, karena pada akhirnya yang jelas-jelas membawa
perubahan dalam masyarakat adalah IPTEK.
6.0 REFORMASI DALAM DISIPLIN-DISIPLIN KHUSUS
6.1 Apa yang Dibutuhkan?
6.1.1 Definisi dan klasifikasi
6.1.2 Pengembangan bersejarah
6.1.3 Metode penelitian
6.1.4 Kritik Epistemologis Islami atas konsep dasar dan paradigma
6.1.5 Pengenalan Epistemologis Islami pada disiplin ilmu
6.2 Reformasi Seni, islaah al funuun
6.2.1 Seni berbahasa.
6.2.2 Fine arts
6.2.3 Musik
6.2.4 Drama
6.2.5 Kerajinan Tangan
6.3 Reformasi Ilmu Pengetahuan yang Menyangkut Kehidupan
6.3.1 Penelitian organisme: biologi, zoologi, botani, ekologi, taksonomi, mikrobiologi, dan
parasitologi
6.3.2 Penelitian struktur: anatomi, histologi, dan embriologi
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
8
6.3.3 Penelitian fungsi: biokimia, biofisika, fisiologi, dan pharmacologi
6.3.5 Penelitian penyakit dan pengobatanya: pathologi, farmasi, pediatrics, pengobatan
dalam, psikiatri, dan ilmu bedah
6.4 Reformasi Ilmu Fisik
6.4.1 Ilmu Matematika
6.4.2 Fisika
6.4.3 Kimia
6.4.4 Astronomi
6.4.5 Ilmu Bumi
6.4.6 Arkeologi
6.4.7 Geografi
6.4..8 Kependudukan
6.4.9 Anthropologi Fisik
6.4.10 Mesin
6.4.11 Arsitektur
6.5 Reformasi Ilmu Sosial, islaah al ‘uluum al ijtima’iyyat
6.5.1 Ekonomi
6.5.2 Ilmu Politik
6.5.3 Hukum
6.5.4 Sosiologi
6.5.5 Psikologi
6.5.6 Antropologi Budaya
6.5.7 Sejarah
6.9 Reformasi Disiplin yang Berhubungan dengan Keuangan
6.9.1 Perbankan
6.9.2 Keuangan
6.9.3 Akuntansi
6.9.4 Administrasi Bisnis
6.9.5 Manajemen
6.10 Reformasi Disiplin yang Berhubungan dengan Kepentingan Umum
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
9
6.10.1 Administrasi Publik
6.10..2 Hubungan Internasional
6.10.3 Hukum
6.11 DISIPLIN ISLAM KLASIK
6.1.1 Mungkin tampak mengejutkan bahwa beberapa ilmu Islam klasik yang didasarkan pada
wahyu juga membutuhkan analisis epistemologis. Bentuk ilmu ini di masa mereka telah
dipengaruhi oleh paradigma eksternal dan filosofi yang telah masuk perlahan-lahan ke dalam
mereka dan menciptakan bias-bias epistemologi yang membutuhkan perbaikan. Selain biasbias
itu, kita perlu melakukan formulasi ulang dimensi ruang dan waktu dalam ilmu-ilmu ini
dengan memisahkan komponen tetap (konstan) yang tidak berubah dari komponen tidak tetap
(variabel) sebagaimana membuat formulasi bagaimana komponen tidak tetap (variabel) dapat
menyesuaikan perubahan waktu dan faktor tempat.
6.1.2 Pertimbangan faktor ruang dan waktu dibutuhkan dalam uluum al Qur;an dan‘uluum al
hadiith. Fiqh dan usul al fiqh memiliki masalah sama yang timbul dari pemahaman harfiah
syari’at yang sempit dan perbedaan fiqih telah memecah belah umat pada masa lalu ke dalam
banyak masalah. Jika penyebabnya adalah fiqih, solusinya akan bisa ditemukan dalam fiqih.
Kita perlu meninjau kembali masyarakat dari general bird eye view yang menggunakan
tujuan-tujuan hukum yang lebih tinggi, maqasid as syari’ah, setelah itu kita akan mampu
membuat banyak kemajuan.
BAB I
PENGETAHUAN DENGAN ILMU PENGETAHUAN
TELAAH FILOSOFIS
1. FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
Sebelum Metode Penelitian dengan pendekatan Kualitatif atau Metode
Penelitian Kualitatif, akan diuraikan terlebih dahulu apa Perbedaan Ilmu
Pengetahuan Ilmiah (Science) dengan Pengetahuan (Knowledge). Mengapa
demikian ? Kedua metode Penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif
digunakan untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science). Oleh
karena itu perlu diketahui terlebih dahulu apa itu Ilmu Pengetahuan
Ilmiah dan perbedaanya dengan Pengetahuan. Dengan dipahaminya Ilmu
Pengetahuan Ilmiah akan mempermudah memahami Metode Penelitian Ilmiah
dan kaitan antara keduanya. Berikut ini akan disinggung sedikit tentang
Filsafat dan perbedaannya dengan Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Secara singkat dapat dikatakan Filsafat adalah refleksi kritis yang
radikal. Refleksi adalah upaya memperoleh pengetahuan yang mendasar atau
unsur-unsur yang hakiki atau inti. Apabila ilmu pengetahuan
mengumpulkan data empiris atau data fisis melalui observasi atau
eksperimen, kemudian dianalisis agar dapat ditemukan hukum-hukumnya yang
bersifat universal. Oleh filsafat hukum-hukum yang bersifat universal
tersebut direfleksikan atau dipikir secara kritis dengan tujuan untuk
mendapatkan unsur-unsur yang hakiki, sehingga dihasilkan pemahaman yang
mendalam. Kemudian apa perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Filsafat.
Apabila ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif dan ilmiah, maka
filsafat sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di samping
membuka dan memperdalam pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan objeknya
dibatasi, misalnya Psikologi objeknya dibatasi pada perilaku manusia
saja, filsafat objeknya tidak dibatasi pada satu bidang kajian saja dan
objeknya dibahas secara filosofis atau reflektif rasional, karena
filsafat mencari apa yang hakikat. Apabila ilmu pengetahuan tujuannya
memperoleh data secara rinci untuk menemukan pola-polanya, maka filsafat
tujuannya mencari hakiki, untuk itu perlu pembahasan yang mendalam.
Apabila ilmu pengetahuannya datanya mendetail dan akurat tetapi tidak
mendalam, maka filsafat datanya tidak perlu mendetail dan akurat, karena
yang dicari adalah hakekatnya, yang penting data itu dianalisis secara
mendalam.
Persamaan dan perbedaan antara Filsafat dan Agama adalah sebagai
berikut. Persamaan antara Filsafat dan Agama adalah semuanya mencari
kebenaran. Sedang perbedaannya Filsafat bersifat rasional yaitu sejauh
kemampuan akal budi, sehingga kebenaran yang dicapai bersifat relatif.
Agama berdasarkan iman atau kepercayaan terhadap kebenaran agama, karena
merupakan wahyu dari Tuhan YME, dengan demikian kebenaran agama
bersifat mutlak.
Kajian filsafat meliputi ruang lingkup yang disusun berdasarkan pertanyaan filsuf terkenal Immanuel Kant sebagai berikut:
1) Apa yang dapat saya ketahui (Was kan ich wiesen)
Pertanyaan ini mempunyai makna tentang batas mana yang dapat dan mana
yang tidak dapat diketahui. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah suatu
fenomena. Fenomena selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini
menjadi dasar bagi Epistomologi. Eksistensi Tuhan bukan merupakan kajian
Epistomologi karena berada di luar jangkauan indera. Bahan kajian
Epistomologi adalah yang berada dalam jangkauan indera. Kajian
Epistomologi adalah fenomena sedang eksistensi Tuhan merupakan objek
kajian Metafisika. Epistomologi meliputi: Logika Pengetahuan
(Knowledge), Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dan Metodologi.
2) Apa yang harus saya lakukan (Was soll ich tun)
Pertanyaan ini mempersoalkan nilai (values), dan disebut Axiologi, yaitu
nilai-nilai apa yang digunakan sebagai dasar dari perilaku. Kajian
Axiologi meliputi Etika atau nilai-nilai keutamaan atau kebaikan dan
Estetika atau nilai-nilai keindahan.
3) Apa yang dapat saya harapkan (Was kan ich hoffen)
Pengetahuan manusia ada batasnya. Apabila manusia sudah sampai batas
pengetahuannya, manusia hanya bisa mengharapkan. Hal ini berkaitan
dengan being, yaitu hal yang ”ada”, misalnya permasalahan tentang apakah
jiwa manusia itu abadi atau tidak, apakah Tuhan itu ada atau tidak.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab oleh Ilmu Pengetahuan
Ilmiah, tetapi oleh Religi. Refleksi tentang Being terbagi lagi menjadi
dua, yaitu Ontologi yaitu struktur segala yang ada, realitas,
keseluruhan objek-objek yang ada, dan Metafisika yaitu hal-hal yang
berada di luar jangkauan indera, misalnya jiwa dan Tuhan.
Bidang-bidang kajian Filsafat, apabila digambarkan adalah sebagaimana bagan berikut:
Selanjutnya akan dibahas salah satu bidang kajian Filsafat, yaitu
Filsafat Ilmu Pengetahuan, karena bidang ini membahas hakekat ilmu
pengetahuan ilmiah (science). Hakekat ilmu pengetahuan dapat ditelusuri
dari 4 (empat) hal, yaitu:
1) Sumber ilmu pengetahuan itu dari mana.
Sumber ilmu pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu
diperoleh. Ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari
akal (ratio). Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut empirisme
dan rasionalisme. Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya
berdasarkan pada empiri atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya
David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704), Berkley. Sedang
rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh aliran ini
misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang digunakan aliran emperisme
adalah induksi, sedang rasionalisme menggunakan metode deduksi.
Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham empirisme dan
rasionalisme.
2) Batas-batas Ilmu Pengetahuan.
Menurut Immanuel Kant apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera
itu hanya terbatas pada gejala atau fenomena, sedang substansi yang ada
di dalamnya tidak dapat kita tangkap dengan panca indera disebut
nomenon. Apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu adalah
penting, pengetahuan tidak sampai disitu saja tetapi harus lebih dari
sekedar yang dapat ditangkap panca indera.
Yang dapat kita ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan
panca indera adalah hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang
berada di luar ruang dan waktu adalah di luar jangkauan panca indera
kita, itu terdiri dari 3 (tiga) ide regulatif: 1) ide kosmologis yaitu
tentang semesta alam (kosmos), yang tidak dapat kita jangkau dengan
panca indera, 2) ide psikologis yaitu tentang psiche atau jiwa manusia,
yang tidak dapat kita tangkap dengan panca indera, yang dapat kita
tangkap dengan panca indera kita adalah manifestasinya misalnya
perilakunya, emosinya, kemampuan berpikirnya, dan lain-lain, 3) ide
teologis yaitu tentang Tuhan Sang Pencipta Semesta Alam.
3) Strukturnya.
Yang ingin mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran. Yang ingin
kita ketahui adalah objek, diantara kedua hal tersebut seakan-akan
terdapat garis demarkasi yang tajam. Namun demikian sebenarnya dapat
dijembatani dengan mengadakan dialektika. Jadi sebenarnya garis
demarkasi tidak tajam, karena apabila dikatakan subjek menghadapi objek
itu salah, karena objek itu adalah subjek juga, sehingga dapat terjadi
dialektika.
4) Keabsahan.
Keabsahan ilmu pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa ilmu
pengetahuan itu sah berarti membahas kebenaran. Tetapi kebenaran itu
nilai (axiologi), dan kebenaran itu adalah suatu relasi. Kebenaran
adalah kesamaan antara gagasan dan kenyataan. Misalnya ada korespondensi
yaitu persesuaian antara gagasan yang terlihat dari pernyataan yang
diungkapkan dengan realita.
Terdapat 3 (tiga) macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
a) Teori Korespondensi, terdapat persamaan atau persesuaian antara gagasan dengan kenyataan atau realita.
b) Teori Koherensi, terdapat keterpaduan antara gagasan yang satu dengan
yang lain. Tidak boleh terdapat kontradiksi antara rumus yang satu
dengan yang lain.
c) Teori Pragmatis, yang dianggap benar adalah yang berguna. Pragmatisme
adalah tradisi dalam pemikiran filsafat yang berhadapan dengan
idealisme, dan realisme. Aliran Pragmatisme timbul di Amerika Serikat.
Kebenaran diartikan berdasarkan teori kebenaran pragmatisme.
Untuk mengetahui penerapan 3 (tiga) macam teori tersebut pada bidang apa, periksa skema berikut ini.
Ilmu-ilmu Formal Ilmu-ilmu Empiris Induktif Ilmu-ilmu Terapan
Deduktif:
Logika
Matematika Alam
unorganik:
karang, batu, air. Hayati:
Kehidupan Sosial:
Manusia ber masyarakat Budaya:
Manusia dengan ekspresinya
Ukuran kebenaran Koherensi
menghadapi rumusan-rumusan yang tidak boleh kontradiksi satu sama lain
Ukuran kebenaran Korespondensi
kesesuaian antara gagasan dengan realita/antara gagasan dengan fakta.
Pragmatis
apa yang bermanfaat itu benar.
Gambar 4: Penerapan Teori Korespondensi, Koherensi dan Pragmatis.
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang menelaah baik
ciri-ciri ilmu pengetahuan ilmiah maupun cara-cara memperoleh ilmu
pengetahuan ilmiah. Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah adalah sebagai
berikut:
1) Sistematis.
Ilmu pengetahuan ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan
ilmiah dalam upaya menjelaskan setiap gejala selalu berlandaskan suatu
teori. Atau dapat dikatakan bahwa teori dipergunakan sebagai sarana
untuk menjelaskan gejala dari kehidupan sehari-hari. Tetapi teori itu
sendiri bersifat abstrak dan merupakan puncak piramida dari susunan
tahap-tahap proses mulai dari persepsi sehari-hari/ bahasa sehari-hari,
observasi/konsep ilmiah, hipotesis, hukum dan puncaknya adalah teori.
Ciri-ciri yang sistematis dari ilmu pengetahuan ilmiah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
a) Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari).
Dari persepsi sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang biasanya
disampaikan dalam bahasa sehari-hari diobservasi agar dihasilkan makna.
Dari observasi ini akan dihasilkan konsep ilmiah.
b) Observasi (konsep ilmiah).
Untuk memperoleh konsep ilmiah atau menyusun konsep ilmiah perlu ada
definisi. Dalam menyusun definisi perlu diperhatikan bahwa dalam
definisi tidak boleh terdapat kata yang didefinisikan. Terdapat 2 (dua)
jenis definisi, yaitu: 1) definisi sejati, 2) definisi nir-sejati.
Definisi sejati dapat diklasifikasikan dalam:
1) Definisi Leksikal. Definisi ini dapat ditemukan dalam kamus, yang biasanya bersifat deskriptif.
2) Definisi Stipulatif. Definisi ini disusun berkaitan dengan tujuan
tertentu. Dengan demikian tidak dapat dinyatakan apakah definisi
tersebut benar atau salah. Benar atau salah tidak menjadi masalah,
tetapi yang penting adalah konsisten (taat asas). Contoh adalah
pernyataan dalam Akta Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut sebagai
Pihak Pertama, si B disebut sebagai Pihak Kedua.
3) Definisi Operasional. Definisi ini biasanya berkaitan dengan
pengukuran (assessment) yang banyak dipergunakan oleh ilmu pengetahuan
ilmiah. Definisi ini memiliki kekurangan karena seringkali apa yang
didefinisikan terdapat atau disebut dalam definisi, sehingga terjadi
pengulangan. Contoh: ”Yang dimaksud inteligensi dalam penelitian ini
adalah kemampuan seseorang yang dinyatakan dengan skor tes inteligensi”.
4) Definisi Teoritis. Definisi ini menjelaskan sesuatu fakta atau
fenomena atau istilah berdasarkan teori tertentu. Contoh: Untuk
mendefinisikan Superego, lalu menggunakan teori Psikoanalisa dari
Sigmund Freud.
Definisi nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Definisi Ostensif. Definisi ini menjelaskan sesuatu dengan menunjuk barangnya. Contoh: Ini gunting.
2) Definisi Persuasif. Definisi yang mengandung pada anjuran
(persuasif). Dalam definisi ini terkandung anjuran agar orang melakukan
atau tidak melakukan sesuatu. Contoh: ”Membunuh adalah tindakan
menghabisi nyawa secara tidak terpuji”. Dalam definisi tersebut secara
implisit terkandung anjuran agar orang tidak membunuh, karena tidak baik
(berdosa menurut Agama apapun).
c) Hipotesis
Dari konsep ilmiah yang merupakan pernyataan-pernyataan yang mengandung
informasi, 2 (dua) pernyataan digabung menjadi proposisi. Proposisi yang
perlu diuji kebenarannya disebut hipotesis.
d) Hukum
Hipotesis yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum.
e) Teori
Keseluruhan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan satu sama lain serta dapat menjelaskan fenomena disebut teori.
2) Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu pengetahuan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu:
a) Sistem axiomatis
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala
sehari-hari mulai dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau
konkret. Atau mulai teori umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini
disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah
ilmu-ilmu formal, misalnya matematika.
b) Sistem empiris
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/
fenomena khusus menuju rumus umum atau teori. Jadi bersifat induktif
dan untuk menghasilkan rumus umum digunakan alat bantu statistik.
Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu pengetahuan alam dan
sosial.
c) Sistem semantik/linguistik
Dalam sistem ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun
proposisi-proposisi secara ketat. Umumnya yang menggunakan metode ini
adalah ilmu bahasa (linguistik).
3) Objektif atau intersubjektif
Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak
(intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan
mandiri, bukan milik perorangan (subjektif) tetapi merupakan konsensus
antar subjek (pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain ilmu pengetahuan
ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas ilmiah.
Cara Kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Cara kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah untuk mendapatkan kebenaran oleh Karl
Popper disebut Siklus Empiris, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 6: Siklus Empiris
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Keterangan Gambar:
Gambar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) komponen, yaitu:
1) Komponen Informasi, yang terdiri dari:
a. Problem
b. Teori
c. Hipotesis
d. Observasi
e. Generalisasi Empiris
Komponen Informasi digambarkan dengan kotak.
2) Komponen langkah-langkah Metodologis, yang terdiri 6 (enam) langkah metodologis, yaitu:
a. Inferensi logis
b. Deduksi logis
c. Interpretasi, instrumentasi, penetapan sampel, penyusun skala.
d. Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi parameter.
e. Pengujian hipotesis.
f. Pembentukan konsep, pembentukan dan penyusunan proposisi.
Langkah Metodologis digambarkan dengan elips.
Penjelasan tentang langkah-langkah Metodologis adalah sebagai berikut:
a. Langkah pertama. Ada masalah yang harus dipecahkan. Seluruh langkah
ini (5 langkah) oleh Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk
pemecahan masalah tersebut diperlukan kajian pustaka (inferensi logis)
guna mendapatkan teori-teori yang dapat digunakan untuk pemecahan
masalah.
b. Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis. Untuk menyusun hipotesis diperlukan metode deduksi logis.
c. Langkah ketiga. Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis perlu
adanya observasi. Sebelum melakukan observasi perlu melakukan
interpretasi teori yang digunakan sebagai landasan penyusunan hipotesis
dalam penelitian adalah penyusunan kisi-kisi/dimensi-dimensi, kemudian
penyusunan instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan
skala.
d. Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melakukan pengukuran
(assessment), penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter
estimation). Langkah tersebut dilakukan guna mendapatkan generalisasi
empiris (empirical generalization).
e. Langkah kelima. Generalisasi emperis tersebut pada hakekatnya
merupakan hasil pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar akan
memperkuat teori (verifikasi). Apabila hipotesis tidak terbukti akan
memperlemah teori (falsifikasi).
f. Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan
sebagai bahan untuk pembentukan konsep, pembentukan proposisi.
Pembentukan atau penyusunan proposisi ini dipergunakan untuk memperkuat
atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru apabila hipotesis tidak
terbukti.
2. BEDA ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN
a. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang berbeda dengan
pengetahuan (knowledge atau dapat juga disebut common sense). Orang awam
tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda
dengan pengetahuan. Bahkan mugkin mereka menyamakan dua pengertian
tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan akan
dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau
membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas
pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan. Untuk itu
kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan
mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui hakekat
ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam
suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif. Dengan
mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan)
yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat
berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan secara interdisipliner. Sebelum kita
membahas hakekat ilmu pengetahuan dan perbedaannya dengan pengetahuan,
terlebih dahulu akan dikemukakan serba sedikit tentang sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu penting, karena dengan
mempelajari hal tersebut kita dapat mengetahui tahap-tahap
perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung terbentuk begitu saja,
tetapi melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode
perkembangan.
a) Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum
Masehi, karena peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu
pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum
Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke
persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh
persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian
misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan
dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya
persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi
mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis,
mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar
(eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari
faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis
dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat.
Analisis rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah,
tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi
Aristoteles tentang dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis
atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis,
dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang
riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi,
dan ada hirarki substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang
mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai
struktur ontologis. Dalam struktur ontologis terdapat 2 prinsip, yaitu:
1) Akt: menunjukkan prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi:
menunjukkan prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda
sempurna dalam dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai
kesempurnaan. Perubahan terjadi bila potensi berubah, dan perubahan
tersebut direalisasikan.
Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut:
1) Hal Pengenalan
Menurut Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu:
(1) pengenalan inderawi; (2) pengenalan rasional. Menurut Aristoteles,
pengenalan inderawi memberi pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit
dari suatu benda. Sedang pengenalan rasional dapat mencapai hakekat
sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2) Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan
tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal
atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi
(reasoning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan”
berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan”
(teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas
teori dan metode. Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk
mengembangkan “ilmu pengetahuan” ada dua, yaitu: (1) induksi intuitif
yaitu mulai dari fakta untuk menyusun hukum (pengetahuan universal); (2)
deduksi (silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju
fakta-fakta.
b) Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)
Pada periode yang kedua ini terjadi revolusi ilmu pengetahuan karena
adanya perombakan total dalam cara berpikir. Perombakan total tersebut
adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya bersifat ontologis rasional,
Gallileo Gallilei (tokoh pada awal abad 17 sesudah Masehi) cara
berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam bentuk kuantitatif
atau matematis. Yang dimunculkan dalam berfikir ilmiah Aristoteles
adalah berpikir tentang hakekat, jadi berpikir metafisis (apa yang
berada di balik yang nampak atau apa yang berada di balik fenomena).
Abad 17 meninggalkan cara berpikir metafisis dan beralih ke
elemen-elemen yang terdapat pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan
hakikat. Dengan demikian bukan substansi tetapi elemen-elemen yang
merupakan kesatuan sistem. Cara berpikir abad 17 mengkonstruksi suatu
model yaitu memasukkan unsur makro menjadi mikro, mengkonstruksi suatu
model yang dapat diuji coba secara empiris, sehingga memerlukan adanya
laboratorium. Uji coba penting, untuk itu harus membuat eksperimen. Ini
berarti mempergunakan pendekatan matematis dan pendekatan eksperimental.
Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu pengetahuan bersifat
ontologis, maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak pada
prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly and
distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan pihak lain
berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah dapat dilihat
dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal,
yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya karena aku berpikir maka aku ada.
Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir
bukan merupakan khayalan. Suatu yang pasti adalah jelas dan
terpilah-pilah. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan
hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan rasio (dalam Hadiwijono,
1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera (mata, telinga,
hidung, dan lain sebagainya), oleh karena itu hasilnya kabur, karena ini
sama dengan pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang pasti
menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita
ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes
dikemukakan melalui keragu-raguan. Keragu-raguan menimbulkan kesadaran,
kesadaran ini berada di samping materi. Prinsip ilmu pengetahuan satu
pihak berpikir pada kesadaran dan pihak lain berpijak pada materi juga
dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Immanuel
Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan pangalaman terhadap fakta
saja, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Agar dapat memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih
dahulu mengenal pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme
mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur
yang terlepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan
unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari
pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik rasionalisme maupun empirisme
dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan
manusia merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori
dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu
Kant berpendapat bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada
objek. Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan
hasil pengalaman saja, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan Immanuel Kant yang menolak pandangan
Aristoteles yang bersifat ontologis dan metafisis. Banyak tokoh lain
yang meninggalkan pandangan Aristoteles, namun dalam makalah ini cukup
mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup untuk menggambarkan adanya
pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan
Terdapat beberapa definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a) Ilmu pengetahuan adalah penguasaan lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima karena mencampuradukkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b) Ilmu pengetahuan adalah kajian tentang dunia material.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat materi.
c) Ilmu pengetahuan adalah definisi eksperimental.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak hanya
hasil/metode eksperimental semata, tetapi juga hasil pengamatan,
wawancara. Atau dapat dikatakan definisi ini tidak memberikan tali
pengikat yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen dan hasil
pengamatan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d) Ilmu pengetahuan dapat sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris.
Definisi ini mempergunakan metode induksi yaitu membangun
prinsip-prinsip umum berdasarkan berbagai hasil pengamatan. Definisi ini
memberikan tempat adanya hipotesa, sebagai ramalan akan hasil
pengamatan yang akan datang. Definisi ini juga mengakui pentingnya
pemikiran spekulatif atau metafisik selama ada kesesuaian dengan hasil
pengamatan. Namun demikian, definisi ini tidak bersifat hitam atau
putih. Definisi ini tidak memberi tempat pada pengujian pengamatan
dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya
berdasarkan kesimpulan logis berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal
sehat. Apabila kesimpulan tersebut hanya merupakan akal sehat, walaupun
itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap belum dapat dikatakan sebagai
ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf pengetahuan. Ilmu pengetahuan
bukanlah hasil dari kesimpulan logis dari hasil pengamatan, namun
haruslah merupakan kerangka konseptual atau teori yang memberi tempat
bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh ahli-ahli lain dalam
bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal. Ini berarti
terdapat adanya kesepakatan di antara para ahli terhadap kerangka
konseptual yang telah dikaji dan diuji secara kritis atau telah
dilakukan penelitian atau percobaan terhadap kerangka konseptual
tersebut.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis
ekstrim, maupun yang bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak.
Pandangan yang bersifat statis ekstrim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
merupakan cara menjelaskan alam semesta di mana kita hidup. Ini berarti
ilmu pengetahuan dianggap sebagai pabrik pengetahuan. Sementara
pandangan yang bersifat dinamis ekstrim menyatakan ilmu pengetahuan
merupakan kegiatan yang menjadi dasar munculnya kegiatan lebih lanjut.
Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu laboratorium. Bila
kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu pengetahuan akan
hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut ditutup.
Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau
kegiatan yang dapat dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi
merupakan teori, prinsip, atau dalil yang berguna bagi pengembangan
teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan kata lain untuk
menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan dapat didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang
saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan
pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam
Qadir C.A., 1995). Pengertian percobaan di sini adalah pengkajian atau
pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan dengan
penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan
(eksperimen).
Selanjutnya John Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi
tekanan pada makna manfaat, mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna
penemuan eksperimen baru atau juga penemuan penelitian baru (menurut
penulis) akan diukur hasilnya yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan
lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak
dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan
yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang bersinambungan (Ziman J.
dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi
ilmu pengetahuan di atas menekankan kemampuannya untuk menghasilkan
percobaan baru, berarti juga menghasilkan penelitian baru yang pada
gilirannya menghasilkan teori baru dan seterusnya – berlangsung tanpa
berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak menekankan penerapannya?
Seperti yang dilakukan para ahli fisika dan kimia yang hanya menekankan
pada penerapannya yaitu dengan mempertanyakan bagaimana alam semesta
dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi penekanan ilmu
pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu
pengetahuan itu akan berhenti. Oleh karena itu, definisi ilmu
pengetahuan tidak berorientasi pada penerapannya melainkan pada
kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru atau penelitian baru, dan
pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli fisika dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya
bukan merupakan ilmu pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common
sense). Selanjutnya untuk membedakan hasil akal sehat dengan ilmu
pengetahuan William James yang menyatakan hasil akal sehat adalah sistem
perseptual, sedang hasil ilmu pengetahuan adalah sistem konseptual
(Conant J. B. dalam Qadir C. A., 1995). Kemudian bagaimana cara untuk
memantapkan atau mengembangkan ilmu pengetahuan? Berdasarkan definisi
ilmu pengetahuan tersebut di atas maka pemantapan dilakukan dengan
penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan.
Perlu dipertanyakan pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang
menghasilkan perseptual dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual.
Jawabannya adalah akal sehat yang menghasilkan pengetahuan merupakan
premis bagi pengetahuan eksperimental (Conant, J.B. dalam Qadir C.A.,
1995). Ini berarti pengetahuan merupakan masukan bagi ilmu pengetahuan,
masukan tersebut selanjutnya diterima sebagai masalah untuk diteliti
lebih lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk teori baru.
Sedangkan Ernest Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu pengetahuan (science).
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Dalam common sense informasi tentang suatu fakta jarang disertai
penjelasan tentang mengapa dan bagaimana. Common sense tidak melakukan
pengujian kritis hubungan sebab-akibat antara fakta yang satu dengan
fakta lain. Sedang dalam science di samping diperlukan uraian yang
sistematik, juga dapat dikontrol dengan sejumlah fakta sehingga dapat
dilakukan pengorganisasian dan pengklarifikasian berdasarkan
prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berlaku.
2) Ilmu pengetahuan menekankan ciri sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang
mendasar dan berlaku umum tentang suatu hal. Artinya dengan berpedoman
pada teori-teori yang dihasilkan dalam penelitian-penelitian terdahulu,
penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan teori yang telah ada yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common sense tidak
memberikan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari berbagai fakta
yang terjalin. Di samping itu, dalam common sense cara pengumpulan data
bersifat subjektif, karena common sense sarat dengan muatan-muatan
emosi dan perasaan.
3) Dalam menghadapi konflik dalam kehidupan, ilmu pengetahuan menjadikan
konflik sebagai pendorong untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha untuk mencari, dan mengintroduksi pola-pola
eksplanasi sistematik sejumlah fakta untuk mempertegas aturan-aturan.
Dengan menunjukkan hubungan logis dari proposisi yang satu dengan
lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4) Kebenaran yang diakui oleh common sense bersifat tetap, sedang
kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu diusik oleh pengujian kritis.
Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada pengujian
melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat diperbaharui
atau diganti.
5) Perbedaan selanjutnya terletak pada segi bahasa yang digunakan untuk
memberikan penjelasan pengungkapan fakta. Istilah dalam common sense
biasanya mengandung pengertian ganda dan samar-samar. Sedang ilmu
pengetahuan merupakan konsep-konsep yang tajam yang harus dapat
diverifikasi secara empirik.
6) Perbedaan yang mendasar terletak pada prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah. Dalam ilmu pengetahuan
alam (sains), metoda yang dipergunakan adalah metoda pengamatan,
eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial dan budaya
juga menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen, generalisasi,
dan verifikasi. Dalam common sense cara mendapatkan pengetahuan hanya
melalui pengamatan dengan panca indera.
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh tersebut
dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka konseptual atau
teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian
secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang
yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena
tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh
orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak
objektif serta tidak universal.
d. Proses Terbentuknya Ilmu Pengetahuan
a) Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Agar dapat diuraikan proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah, perlu
terlebih dahulu diuraikan syarat-syarat ilmu pengetahuan ilmiah.
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan
(Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 1998/1999,
ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori
tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga
hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat
universal, dengan kata lain dapat diterima oleh orang-orang
lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu pengetahuan tersebut telah
diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan Parsudi Suparlan yang
menyatakan bahwa Metode Ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi
terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa penelitian
ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Sedangkan
penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif
(Suparlan P., 1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah
harus sestematik dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu
kerangka bagi terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah. Maka jelaslah bahwa
ilmu pengetahuan juga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori pada dasarnya merupakan bagian utama dari metode ilmiah.
Suatu kerangka teori menyajikan cara-cara mengorganisasikan dan
menginterpretasi-kan hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan
hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Jadi peranan metode
ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu
dan tempat yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi
corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut
di atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya ilmu pengetahuan
ilmiah melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian
ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah pada dasarnya merupakan bagian yang
penting dari metode ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan ilmiah menyajikan
cara-cara pengorganisasian dan penginterpretasian hasil-hasil
penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang
dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan
ilmiah merupakan suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini
peranan metode ilmiah penting yaitu menghubungkan
pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda.
Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan
metode induktif guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus
dalam rangka penelitian, penciptaan teori dan verifikasi, tetapi dalam
ilmu-ilmu sosial, baik metode induktif maupun deduktif sama-sama
penting. Walaupun fakta-fakta empirik itu penting peranannya dalam
metode ilmiah namun kumpulan fakta itu sendiri tidak menciptakan teori
atau ilmu pengetahuan (Suparlan P., 1994). Jadi jelaslah bahwa ilmu
pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau kumpulan
fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena
fakta-fakta empirik itu sendiri agar mempunyai makna, fakta-fakta
tersebut harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi
berdasarkan metode yang berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu
dengan yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas merupakan prinsip utama
dalam metode ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu sosial berhubungan
dengan kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya sehingga tidak
terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional antara peneliti dengan
pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptis.
b) Ilmuwan harus objektif yaitu membebaskan dirinya dari sikap,
keinginan, kecenderungan untuk menolak, atau menyukai data yang
dikumpulkan.
c) Ilmuwan harus bersikap netral, yaitu dalam melakukan penilaian
terhadap hasil penemuannya harus terbebas dari nilai-nilai budayanya
sendiri. Demikian pula dalam membuat kesimpulan atas data yang
dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir, mutlak, dan merupakan
kebenaran universal (Suparlan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang berpedoman pada metode ilmiah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a) Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya.
b) Definisi-definisi yang dibuat adalah benar dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada/baku.
c) Pengumpulan data dilakukan secara objektif, yaitu dengan menggunakan metode-metode penelitian ilmiah yang baku.
d) Hasil-hasil penemuannya akan ditentukan ulang oleh peneliti lain bila
sasaran, masalah, pendekatan, dan prosedur penelitiannya sama (Suparlan
P., 1994).
b) Metode Penelitian Ilmiah
Pada dasarnya metode penelitian ilmiah untuk ilmu-ilmu sosial dapat
dibedakan menjadi dua golongan pendekatan, yaitu: (1) pendekatan
kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1) Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan kuantitatif adalah filsafat
positivisme yang dikembangkan pertama kali oleh Emile Durkheim (1964).
Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa tindakan-tindakan
manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta
sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif,
yaitu dengan memandangnya sebagai benda, seperti benda dalam ilmu
pengetahuan alam.
Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati sesuatu fakta
sosial, untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan
dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian
kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat
diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisa
yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan
data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan
variabel tergantung (Suparlan P., 1997).
2) Pendekatan Kualitatif
Landasan berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran Max Weber
(1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya
gejala-gejala sosial, tetapi juga dan terutama makna-makna yang terdapat
di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya
gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu, metode yang utama dalam
sosiologi dari Max Weber adalah Verstehen atau pemahaman (jadi bukan
Erklaren atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam
suatu gejala sosial, maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai
pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku yang
ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai
makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya
(Suparlan P., 1997).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar