BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Kejadian cidera otak (CO) dari waktu ke waktu tidak pernah
berkurang baik di negara yang sudah maju atau negara yang berkembang terutama
di Indonesia
Faktor-faktor yang menyebabkan CO oleh karena :
1. Meningkatnya kuantitas dan kualitas sarana
transportasi, mengakibatkan meningkatnya jumlah kecelakaan lalu lintas baik
darat, laut dan udara.
2. Meningkatnya
kuantitas dan kualitas industri menyebabkan bertambah terjadinya kecelakaan
kerja
3. Faktor-faktor lain seperti kegiatan-kegiatan
olahraga, penyaluran hobi berburu dan sebagainya.
Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Jawa Timur, selama lima tahun
terakhir, jumlah rata-rata penderita CO adalah 2043 kasus setiap tahun yang
terdiri dari CO ringan (COR), CO sedang (COS) dan CO berat (COB)
Di Amerika Serikat pada tahun 1990 hampir 148.500 orang
meninggal dunia akibat cidera akut dan diperkirakan 44% – 50% diantaranya
disebabkan oleh CO. Tingkat kematian bervariasi dari 14 hingga 30 per 10.000
populasi per tahun. Biaya sosial yang diakibatkan CO ternyata sangat
mengejutkan, baik dari sosial maupun ekonomi. Hampir 100% COB dan 66% COS menyebabkan kecacatan yang permanen dan tidak
akan kembali ke tingkat fungsi awal. Di USA biaya perawatan CO
diperkirakan lebih dari $ 25 milyard ter tahun (FCA 1998, Shepard 2001)
Celakanya CO lebih banyak dialami oleh kelompok dewasa muda
antara 15 - 30 tahun daripada anak-anak dan orang tua, dan lebih banyak terjadi
pada laki-laki daripada wanita hal ini dikarenakan usia dewasa muda dan
laki-laki lebih mobile atau lebih banyak menggunakan kendaraan (Umar Kasan
1999, M.Arifin 2002, Hafid B. 2000)
CO primer (COP) dapat terjadi langsung yakni kepala
terbentur atau terpukul di tengkuk atau jatuh terduduk dapat menimbulkan
goncangan pada kepala (Becker et al 1979, Gennarelli et al 1985, popp et al
1985). COP dapat menyebabkan
terjadinya gangguan fungsi dan anatomi sel otak. Pada CO sebagian sel otak
tetap normal, sebagian cidera (sakit) dan sebagian mati, sel otak normal dan
yang sudah mati tidak memerlukan penatalaksanaan secara khusus, sedangkan
sel-sel otak yang cidera memerlukan penatalaksanaan yang baik dengan tujuan
agar sel otak yang cidera menjadi sembuh atau normal, dengan demikian dapat
dicegah meluasnya proses yang mengakibatkan terjadinya cidera otak sekunder
(COS). Faktor utama penyebab terjadinya COS adalah perdarahan otak dan edema
otak.
Perdarahan otak
yang cukup luas dan menimbulkan efek masa, bila dimungkinkan dapat diintervensi
secara operatif, sedangkan kecil dan tidak menimbulkan efek masa cukup dirawat
secara konvensional.
Pada edema otak
terjadi peningkatan isi atau masa jaringan otak (Rapport, 1979; marmarou et al
1976, 1980 & 1987 ; Kaplan 1988). Pada fase awal, peningkatan edema otak
diikuti dengan pengurangan atau penyusutan, cairan serebro spinal (CSS), isi
pembuluh darah serta jaringan penyangga. Peningkatan edema otak belum
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang bermakna di mana
tubuh akan mengadakan kompensasi untuk mengurangi edema otak. Namun bila proses
berlanjut, peningkatan edema otak akan berlangsung terus, sedangkan mekanisme
pengurangan masa sudah maksimal, sehingga terjadi peningkatan tekanan
intrakranial yang progresif dan terjadi pendesakan pada bagian otak yang vital.
Penyebab dan mekanisme terjadinya peningkatan edema otak
masih dalam penelitian dan banyak teori yang dikemukakan antara lain : teori
adanya aritrosit, neurotransmiter atau spasmogen, reaksi imflamasi, asidosis,
radikal bebas, opioid endogen dan gangguan hormonal serta teori gangguan
airway, breathing dan sirkulasi yang mengakibatkan gangguan oksigen di otak
(Hipoksemia) (Bullock, 1992; Mc Intosh 1998; Rapport 1979; Teasdale 1998;
Yoshida 1991; Staub 1994; Sutton 1995)
BAB II
PEMBAHASAN
2.
MEKANISME
CIDERA OTAK
1. Secara Statis (Static Loading)
Cidera otak timbul secara lambat,
lebih lambat dari 200 milisekon. Tekanan pada kepala terjadi secara lambat
namun terus menerus sehingga timbul kerusakan berturut-turut mulai kulit,
tengkorak dan jaringan otak. Keadaan seperti ini sangat jarang terjadi.
2. Secara Dinamik (Dynamic Loading)
Cidera kepala timbul secara
cepat, lebih cepat dari 200 milisekon, berbentuk impulsif dan / atau impak
a. Impulsif
(Impulsif Loading)
Trauma
tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi pada waktu kepala mendadak bergerak atau gerakan kepala
berhenti mendadak, contoh : pukulan pada
tengkuk atau punggung akan menimbulkan gerakan fleksi dan ekstensi dari kepala yang bisa menyebabkan cidera otak.
b. Impak
(Impact Loading)
Trauma
yang langsung membentur kepala dapat menimbulkan 2 bentuk impak:
a. Kontak
/ benturan langsung (contact injury)
b. Inersial
(inertial = acceleration dan deceleration)
ad.a.
Kontak / benturan langsung (contact injury)
Trauma yang langsung mengenai kepala dapat
menimbulkan kelainan :
- Lokal, seperti fraktur tulang kepala,
perdarahan ekstradura dan coup kontusio
- Jauh (remote effect), seperti fraktur
dasar tengkorak dan fraktur di luar tempat
trauma
- Memar otak contra coup dan memar otak
intermediate disebabkan oleh
gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran yang ditimbulkan oleh
pukulan akan diteruskan di dalam jaringan otak.
ad b. Inersial (Inertial
injury)
Karena
perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan tulang, maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua
jaringan (akselerasi dan deselerasi) yang
dapat menyebabkan gegar otak, cidera akson difus (diffuse axonal injury), perdarahan subdural, memar
otak yang berbentuk coup, contra coup dan
intermediate.
3.
PATOFISIOLOGI
CIDERA OTAK
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
otak langsung (primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan
kerusakan dari jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti
: kerusakan SDO, gangguan ADO, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, realsi
imflamasi dan radikal bebas (Gromek et al 1973; Miller 1973; Clubb et al 198;
Rosner et al 1984; Gennarelli et al 1985; Graham et al 1987; Hayes et al 1989;
Povlishock 1989; Rosenblum 1989; Umar Kasan 1992)
Kerusakan
jaringan otak akibat trauma langsung.
Rambut kepala dan
tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak terhadap benturan pada
kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan diserap atau
dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan dihantarkan
ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu sedikit
melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan beberapa
milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil
hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas
tengkorak dengan lekukak yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila leukak
melebihi batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur.
Fraktur tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi,
diastasesutura atau fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.
Mekanisme
kerusakan otak pada CO dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan
jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak sehingga
timbul lesi “coup” (cidera di tempat benturan)
b. Perbedaan
massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan
percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini
dapat menimbulkan CO berupa kompresi, peregangan dan pemotongan. Benturan dari
arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara massa
jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang
keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan dapat timbul
lesi baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan berseberangan
atau jauh dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada
bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior,
sebaliknya pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari arah
postero-anterior sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak
bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya coup
dan contra coup
c. Bila
terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan diteruskan
melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut menimbulkan tekanan
pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan menyebabkan terjadinya
kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan dan robekan. Kerusakan
yang ditimbulkan dapat berupa : “Intermediate coup”, contra coup, cidera akson
yang difus disertai perdarahan intraserebral
d. Perbedaan
percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan tekanan
negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian disusul
dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat benturan
dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya gelembung
(kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra
coup).
1. Impak (Impact Loading)
2. Inert = Impulsif
3. Gelombang kejut (Shock wave
injury)
4.
KELAINAN
FUNGSI DAN ANATOMI OTAK
1. Kerusakan sel otak
Pada CO terjadi proses fagositik
(phagocytic process) dan akan terbentuk gelembung lemak di dalam sel (fat
granule cells) yang mengakibatkan terjadinya kerusakan sel otak.
2. Kerusakan pembuluh darah
Terjadi bendungan dan dilatasi
kapiler dan vena ; bila berkelanjutan, keadaan menjadi lebih berat, akan
menimbulkan gangguan permeabilitas, diikuti dengan degenerasi dan nekrosis
dinding pembuluh darah yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah yang
bersangkutan sehingga terjadi perdarahan. Secara makro di daerah kontusio
terlihat suatu area perdarahan yang menyebar dan menembus korteks ke substansia
alba, bentuknya tidak teratur dan biasanya terlokalisasi di daerah mahkota
girus otak.
3. Lokasi kerusakan
Kerusakan pembuluh darah dan
aliran darah berdasarkan lokasi kerusakan jaringan otak pada CO adalah :
- coup, bila CO terjadi di tempat benturan
- contra coup, bila CO terjadi di tempat di sisi
yang berlawanan atau jauh dari tempat benturan
- intermediate coup, bila CO terjadi
intraserebral di antara coup dan contra coup
4. Glasgow Coma Scale (GCS)
Yang dimaksud disini adalah cara
pengukuran tingkat kesadaran secara kuantitatif, berdasarkan tiga variabel
pemeriksaan neurologis, yaitu reaksi bukaan mata, bicara dan motorik. Cara
pengukuran ini ditemukan oleh Brian Jennett (Tabel 1).
Glasgow Outcome Scale (GOS)
GOS adalah cara standar yang
dipakai secara luas hingga kini untuk mengukur hasil perawatan penderita cidera
kepala secara umum. Cara pengukuran ini diusulkan oleh Brian Jennett dan Bond
pada tahun 1975 (Tabel 2).
Kelemahan GOS
adalah ketidak-sensitifannya terhadap gangguan neuropsikologi ringan yang dapat
mempengaruhi kinerja dan kualitas hidup penderita pada bidang tertentu,
meskipun pada bidang lain dapat pulih normal; selain itu sebagai sarana
pengukur yang besifat umum, GOS tidak dapat menunjuk mekanisme dasar penyebab
kecacatan penderita (Levin, 1996).
Tabel 1 : Glasgow coma scale. Diadaptasi dari Jennett B, 1981.
Gejala
|
Skor
|
Bukaan mata (E)
|
|
Spontan
|
4
|
Dengan rangsangan suara
|
3
|
Dengan rangsangan nyeri
|
2
|
Tidak bereaksi
|
1
|
Reaksi bicara (V)
|
|
Orientasi baik
|
5
|
Percakapan membingungkan
|
4
|
Kata-kata tidak sesuai
|
3
|
Suara yang tidak komprehensif
|
2
|
Tidak bersuara
|
1
|
Reaksi motorik terbaik (M)
|
|
Sesuai perintah
|
6
|
Melokalisir rangsangan
|
5
|
Menolak rangsangan
|
4
|
Fleksi abnormal
|
3
|
Ekstensi abnormal
|
2
|
Tidak ada reaksi
|
1
|
Skor koma =
E-V-M, dengan rentang 1-1-1 hingga 4-5-6.
|
Tabel 2 : Glasgow Outcome Scale.
Diadaptasi dari Jennett, 1975.
Pemulihan baik
|
Penderita kembali ke tingkat fungsi pra-trauma
|
Ketidakmampuan sedang
|
Ada defisit neurologis, tetapi mampu merawat diri sendiri.
Dapat menggunakan sarana transportasi umum. Bekerja dalam kapasitas yang
berkurang akibat sebagai akibat gejala sisa neurobehavioral atau disfungsi psikososial.
|
Ketidakmampuan berat
|
Tidak mampu merawat diri sendiri: tergantung pada
supervisi orang lain secara terus menerus karena defisit neurobehavioral atau kemampuan fisik yang berat.
|
Vegetatif
|
Tidak memiliki fungsi luhur seperti komunikasi, interaksi
kognitif dengan lingkungan, meskipun dapat membuka mata dan siklus tidur normal
|
Mati
|
|
5. Derajat gangguan kesadaran
Derajat gangguan kesadaran
penderita CO dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Ringan
Bila skor Glasgow Coma Scale
(GCS) berkisar antara 13 – 15
Terdapat perubahan anatomi dan
gangguan fungsi otak minimal
2. Sedang
Bila skor GCS berkisar antara 9
– 12
Terdapat perubahan anatomi dan
gangguan fungsi otak yang lebih berat
Klinis terdapat kelainan pada
saraf dan pada pemeriksaan CT Scan terlihat adanya kelainan
3. Berat
Bila skor GCS berkisar antara 3 – 8
Terdapat perubahan anatomi dan gangguan fungsi otak berat
6. Diagnostik
a. CT Scan kepala pada CO
Kelainan otak pada CT Scan dapat
dibagi menjadi 3 bentuk yaitu :
1. Kontusio tipe I
Area dengan densitas rendah yang
terbatas jelas terutama di substansia alba (white matter) dan jarang di
substansia grisea (gray matter), karena absorbsi radiasi yang menurun.
2. Kontusio tipe II
Area dengan campuran densitas
rendah dan tinggi, tidak ada absorbsi radiasi yang homogen atau merata.
Besarnya area bervariasi dari kecil sampai sedang dengan batas tidak jelas
dengan densitas 16 – 24 H dan keadaan ini dapat dibedakan dengan perdarahan
intraserebral yang terbatas jelas dengan densitas lebih tinggi 64 – 67 H.
3. Kontusio tipe III
Area coup maupun contra coup,
berarti ada proses multipel (ganda), bisa dua proses di satu hemisfer, di kedua
hemisfer atau di daerah supra dan infra tentorial.
b. CT Scan Diffuse Injury
Tabel 3 : Klasifikasi cidera kepala difus berdasarkan CT scan, diadaptasi
dari Diaz-Marchan, 1996.
Kategori
|
Hasil CT scan
|
Diffuse injury I
|
Tidak nampak patologi intrakranial
|
Diffuse injury II
|
Sisterna terbuka, dengan MLS < 5 mm, tidak nampak lesi
berdensitas tinggi atau campuran > 25 cc, bisa termasuk fragmen tulang
atau benda asing.
|
Diffuse injury III (edema)
|
Sisterna terjepit atau hilang, dengan MLS < 5 mm, tidak
nampak lesi berdensitas tinggi atau campuran > 25 cc
|
Diffuse injury IV (pergeseran)
|
MLS > 5 mm, tidak nampak lesi berdensitas tinggi atau
campuran > 25 cc
|
Massa dengan indikasi operasi
|
Terdapat lesi massa yang perlu dioperasi
|
Massa tanpa indikasi operasi
|
Nampak lesi berdensitas tinggi atau campuran > 25 cc
tetapi tidak ada indikasi operasi
|
MLS: midline shift
5. ALIRAN DARAH OTAK (ADO)
ADO normal : 50 – 160 ml/menit. Otak manusia mendapat aliran
darah dari pembuluh darah utama, yakni dari arteri karotis komunis kanan dan
kiri, dan arteri vertebralis. Kedua pembuluh darah tersebut berhubungan dengan
satu dengan yang lainnya sehingga merupakan satu kesatuan. Bila terdapat
gangguan pada salah satu pembuluh darah, fungsinya dapat diganti atau diambil
alih oleh pembuluh darah yang lain sehingga kebutuhan darah otak dapat
dipenuhi, tetapi bila gangguan sangat berat, kompensasi aliran darah tidak
mencukupi sehingga terjadi gangguan fungsi dan kerusakan anatomi otak.
ADO dapat diukur dengan berbagai cara, yakni dengan PET
(Positron Emission Tomography), NMR (Nuclear Magnetic Resonance), Xenon
Clearance and Hagen Poiseule).
Dalam jaringan otak normal terdapat suatu sistem yang
mengatur aliran darah dengan mengubah besar kecilnya diameter pembuluh darah
sehingga kebutuhan darah, oksigen dan glukose untuk otak dapat dipenuhi. Sistem
ini disebut autoregulasi pembuluh darah otak.
Energi
Energi dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi otak (lihat
gambar).
Besarnya kebutuhan energi otak ini disebabkan oleh karena
beberapa hal yaitu :
- otak tidak mempunyai simpanan O2
atau hanya sangat minim. Bila suplai O2 terhenti, otak hanya dapat
bertahan selama 3 menit.
- otak memerlukan energi tinggi dan energi hanya
didapat dari luar (bahan eksogen), sehingga bila terjadi kekurangan sumber
energi dari luar akan berakibat terjadinya gangguan fungsi otak
- dalam keadaan istirahat (resting) semua kapiler
pembuluh darah otak hampir terbuka maksimal sehingga untuk penambahan isi dalam
kenyataannya tidak dimungkinkan lagi.
Gangguan ADO pada CO dapat berupa gangguan pada
autoregulasi, gangguan aliran akibat spasme/konstriksi, dan hipoksemia.
6.
AUTOREGULASI
PEMBULUH DARAH
Dengan autoregulasi dimaksud adanya kemampuan pembuluh darah
serebral untuk menyesuiakan lumennya pada ruang lingkup sedemikian rupa,
sehingga aliran darah ke otak tidak banyak berubah, walaupun tekanan darah
arteriil sistemik mengalami fluktuasi. Penurunan tekanan darah sistemik sampai
mencapai 50 mmHg masih dapat diatasi oleh fungsi autoregulasi serebral ini,
tanpa menimbulkan gangguan aliran darah regional.
Beberapa teori
tentang dasar dari mekanisme autoregulasi adalah :
a. Teori
Miogenik
Kenaikan tekanan darah arteriil sistemik akan mendorong pembuluh darah
untuk berkontraksi sehingga terjadi kenaikan resistensi vaskuler, dan lebih
lanjut mengakibatkan penurunan alirah darah sampai ke batasa normal. Demikian
pula sebaliknya, penurunan tekanan darah arteriil sistemik akan mengakibatkan
relaksasi dinding pembuluh darah serebral, sehingga terjadi penurunan
resistensi vaskuler.
b. Teori
Neurogenik
teori ini didasarkan adanya serabut-serabut saraf perivaskuler yang
menyertai pemuluh darah serebral. Pusat yang sensitif terhadap CO2
terdapat di batang otak dan pengaturan resistensi pembuluh darah serebral
melalui mekanisme neurogenik.
c. Teori
Metabolik
Dasar hipotesa adalah arteri mempunyai kemampuan sebagai elektroda terhadap
tekanan CO2 (PCO2).
Disamping itu : CO2 dapat berdifusi secara bebas melalui
membran pembuluh darah, sedangkan ion Hidrogen dan Bikarbonat tidak. pH di
sekitar dan di dalam sel otot polos dipengaruhi oleh ion Bikarbonat
ekstravaskuler dan Karbondioksida intravaskuler.
Perubahan akut dari PCO2 arteri akan mengakibatkan perubahan pH
secara mencolok dan selanjutnya memacu penyesuaian dari aliran darah otak.
Apabila kondisi PCO2 ini tetap, pH cairan ekstravaskuler lambat
laun akan berubah ke arah normal melalui proses transport aktif dari sel glia,
sampai pH terkoreksi sesuai kondisi reseptor pH pembuluh darah dan resistensi
pembuluh serebral kembali normal.
Apabila PCO2 kemmudian kembali ke nilai normal, aliran darah
akan berubah ke arah yang berlawanan sedemikian rupa sampai koreksi ke arah
kebalikan di atas selesai.
Gangguan autoregulasi
Pada CO terdapat perbedaan mengenai waktu terjadinya berat
atau besarnya gangguan autoregulasi. Banyaknya percobaan-percobaan yang telah
dilakukan tetapi hasilnya tidak sama, seperti terurai di bawah ini :
- waktu
terjadinya gangguan autoregulasi dapat berlangsung dalam beberapa detik,
beberapa menit dan beberapa jam.
- beratnya gangguan autoregulasi tergantung dari
beratnya CO. Pada CO sedang terjadi kerusakan autoregulasi yang tidak seberapa
sedangkan pada CO berat (GCS < 8), besarnya kerusakan pada autoregulasi
dapat mencapai 31%.
Vasokonstriksi atau vasospasme
Pada keadaan
normal terdapat keseimbangan antara vasodilatasi dan vasospasme. Pada CO
terjadi gangguan autoregulasi di mana keseimbangan ini terganggu. Dikatakan bahwa pada fase awal terjadi
spasme dan kemudian disusul dengan vasodilatasi. Karena aktifitas saraf
simpatis yang membungkus pembuluh darah tidak mampu lagi mengambil adrenalin
dan konsekuensinya adalah terjadinya edema otak.
Bila terjadi
hipoksemia maka produksi energi (ATP) berkurang dengan akibat kenaikan ion Ca2+
dari luar sell atau dari simpanan Ca2+ didalam mitokhondria dan
retikulo endoplasmik Ca2+ dalam sell meningkat menyebabkan aktivasi
enzim miosin kenase sehingga miosin yang pasif menjadi aktif (Myosin phosphate
activation) dan miosin yang aktif akan mengikat aktin sehingga timbul ikatan
aktin-miosin (actin-myosin complex) yang mengakibatkan pembuluh darah menyempit
(vasospasm) kalau hipoksia hilang dan aliran darah normal maka ATP kembali
normal dan ikatan aktin-miosin dibuka maka pembuluh darah akan melebar (vasodilatasi).
7. HIPOKSEMIA
Hipoksemia di sini berarti bahwa suplay O2 lebih
kecil daripada kebutuhan O2. Kadar O2 dalam jaringan otak
tergantung pada :
1. ADO
2. PaO2
3. Persentase kelarutan O2 di dalam
hemoglobin (SO2)
4. Kadar hemoglobin
Keterangan :
Kadar O2
jaringan = ADO x [O2]a
Kadar O2
jaringan = ADO x
1,39 = jumlah
O2 dalam ml yang diikat oleh 1 gr hemoglobin dalam kelarutan yang
maksimal
Hipoksia dapat terjadi karena :
- ADO menurun akibat iskemia (Ischemic Hypoxia)
Penyebab antara lain stroke (infark atau
perdarahan) dan CO
- Hipoksia karena keadaan hipoksik (Hypoxic
Hypoxia)
Penyebab penyakit paru-paru seperti : gangguan
pernafasan
- Anemia (Anemia Hypoxia)
Akibat perdarahan kronis, defisiensi
vitamin B12 dan keracunan karbon monooksida sehingga kadar Hb
menurun.
Pada CO terjadi gangguan suplai O2 yang
disebabkan antara lain oleh hipoksemia, gangguan paru-paru, penurunan ADO dan
perpanjangan dari “diffusion path length” (Krogh’s cylinder model) sehingga
terjadi edema otak. Edema otak
mengakibatkan gangguan substitusi seluler dan gangguan fungsi otak karena
kekurangan energi.
Gangguan metabolisme otak
CO dapat
menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme otak seperti : metabolisme anaerob,
hipermetabolisme, hiperglikemia, hiperkatabolisme dan gangguan metabolisme asam
lemak.
Metabolisme anaerob
Kekurangan O2
menyebabkan berlangsungnya metabolisme anaerob yang menimbulkan terjadinya
gangguan pembentukan energi dan mengakibatkan terjadinya gangguan pembentukan
energi dan mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi sel :
- bila suplai O2 cukup akan
berlangsung metabolisme aerob :
1 mol glukose + 6 O2
+ 38 ADP + 38 Pi ®
6CO2 + 44 H2O + 38 ATP
- bila suplai O2 kurang akan
berlangsung metabolisme anaerob :
1 mol glukose + 2 ADP + 2 Pi + 2
NAD+ ®
2 ATP + 2 NADH + 2 H+ + 2 Pirufat
Pirufat + NADH + H+ ® asam
laktat + NAD+.
1 mol glukose asam laktat + 2 ATP
Berkurangnya jumlah ATP disertai pembentukan asam laktat
akan mengakibatkan bertambahnya edema otak.
Hipermetabolisme,
hiperglikemia dan hiperkatabolisme
Keadaan ini disebabkan karena pengaruh katekolamin, KTS,
glukagon dan hormon pertumbuhan (Growth Hormone), dengan gejala atau repons
tubuh berupa :
- gangguan
sistemik : takipne ( > 30 x/menit ), takikardia ( > 120/menit ),
hipertensi (tekanan sistole > 160 mmHg) dan hiperpireksia (temperatur >
39° C)
- gangguan
hemodinamik : curah jantung meningkat, aritmia, nekrosis miokard. Terjadi
gangguan pada keseimbangan nitrogen, selain itu glukose darah meningkat karena
adanya gangguan kadar insulin dan terjadi resistensi terhadap insulin, serta
terlihat pula gangguan profil fosfolipid plasma
- perubahan
stres hormon : KTS meningkat, glukagon meningkat, hormon pertumbuhan meningkat,
katekolamin meningkat, IL meningkat dan TNF meningkat
- gangguan
keseimbangan garam : Zn menurun, Fe menurun, Cu meningkat.
Untuk memenuhi
kebutuhan energi otak bila kadar glukose tidak mencukupi, energi akan diperoleh
dari pembebasan glikogen dari simpanan di dalam hari dan otot dan proses ini
disebut glikogenolisis, dan juga pemanfaatan dari asam amino seperti valine,
leusine, isoleusine, arginin dan glutamat serta asam lemak dan proses ini
disebut glikoneogenolisis.
Glikogen
|
Glikogenolisis
Glikogenesis
|
Glukose
|
Glikoneogenolisis
Glikoneogenesis
|
As. Lemak
Protein
|
Metabolisme asam
lemak
Pada CO akan terjadi influk Ca2+ sehingga Ca2+
intraseluler meningkat yang mengaktifkan ensin fosfolipase A2 dan C
dan menyebabkan pemecahan asan lemak di dalam membran sel menjadi Platelet
Activating Factor (PAF). Asam arakidonik mengalami metabolisme atau reakdi
menjadi RB oleh reaksi oto oksidasi, Tromboksane A2 (TxA2)
oleh ensim siklooksigenase, leukotrine oleh ensim lipoksigenase, fosfolipid
dengan realisasi dan albumin oleh ikatan hidropobik. Fosfolipid dan albmunin
kembali digunakan oleh tubuh (lihat gambar).
8.
TEKANAN PERFUSI OTAK (TPO)
Jumlah kebutuhan
energi dalam sel otak ditentukan juga oleh TPO yang harga normalnya : 85 ± 15
mmHg. Tekanan Perfusi Otak (TPO) sama dengan Tekanan Darah (TD) dikurangi
Tekanan Intrakranial (TIK).
TPO = TD – TIK
Dalam keadaan
normal pengaruh TIK kecil sehingga TPO dianggap sama dengan TD. TPO akan
terganggu bila terjadi penurunan TD atau kenaikan TIK. TPO dipengaruhi oleh
autoregulasi. Bila autoregulasi baik maka perubahan TD dan TIK tidak mengubah
TPO karena terdapat kompensasi sehingga tidak mengakibatkan gangguan pada
metabolisme otak. Bila TD di bawah 40 mmHg, autoregulasi mengalami kerusakan sehingga
terjadi gangguan TPO, mengakibatkan terjadinya gangguan fungsi sel otak. Pada
CO terjadi gangguan autoregulasi sedemikian rupa sehingga perubahan kecil dari
TD dan TIK akan mempengaruhi TPO.
Gangguan
metabolisme otak karena gangguan TPO dapat dilihat dari adanya :
1. Aliran Energi (energy flow)
Besarnya energi ini dapat
dihitung dengan CMRO2, dimana CMRO2 = ADO x AVDO2
CMRO2 menunjukkan penyediaan O2 dalam jaringan.
Hipoksia menyebabkan CMRO2 menurun
2. Keadaan
energi (energy state)
Hipoksia jaringan antara lain ditandai dengan :
- ATP yang
menurun, ADP meningkat, AMP meningkat dan Pi meningkat
- perubahan fosforilasi oksidatif (Oxidative
phosphorylation) yaitu kenaikan rasio laktat / pirufat.
3. Keadaan
redok (redox state)
Keadaan redok berhubungan dengan rasio laktat / pirufat. Bila kadar O2
menurn terjadi perubahan redok di mana rasio NADH / NAD+ di dalam
sitoplasma meningkat dan rasio laktat / pirufat meningkat. Perubahan rasio
laktat dan pirufat dalam serum dan cairan otak merupakan petunjuk adanya
hipoksia.
9.
SAWAR DARAH OTAK
(SDO)
SDO terdiri dari 2 komponen, yakni jaringan otak / sel glial
dari pembuluh darah otak. Sel glial membentuk suatu tonjolan pembungkus
(envelope glial cell) yang masuk ke dalam celah endotel pembuluh darah otak dan
membentuk suatu lapisan atau ikatan yang erat yang tidak dapat ditembus oleh
bahan bermolekul besar.
Dinding Pembatas
a. Sawar Darah Likuor
- Pembatas antara darah dengan kompartemen
likuor, misalnya ventrikel
- Komponen
pembatas adalah sel ependima dan adneksa dari pleksus khoroideus
b. Sawar Otak Likuor
- Pembatas antara otak dengan kompartemen likuor
- Ependima dan sel-sel glia sekitarnya merupakan
penghalang yang potensial dalam mencegah terjadinya hubungan antara likuor
dengan cairan interstitial
Fungsi
- Menopang
dan bantalan bagi otak, batang otak maupun medulla spinalis.
- Menjadi
bantalan pada trauma yang menibulkan gaya aselerasi / deselerasi.
- Mengangkut
bahan-bahan sisa metabolisme sel saraf.
- Mengangkut
bahan-bahan toksik yang kemungkinan lolos dari sawar darah otak dan masuk ke
otak.
- Mengekskresikan
bahan-bahan sisa ini ke pembuluh darah.
Pada keadaan
normal SDO sukar ditembus oleh bahan-bahan bermolekul besar dan hal ini
dibuktikan dengan :
- pemberian
kontras Evens blue, kontras akan mengikuti aliran darah dan bila tidak terlihat
penimbunan kontras di daerah tertentu berarti tidak ada kerusakan SDO karena
kontras tidak menembus SDO
- scintigrafi
(Brain Scanning). Tidak nampak penumpukan isotop di daerah tertentu.
Pada CO yang
berat, fungsi sistem SDO hilang, karena pada jaringan otak yang mengalami
kerusakan / memar akan terbentuk jaringan parut yang disebut gliosis sehingga
struktu SDO rusak yang mengakibatkan kebocoran SDO dan keadaan ini dapat
berlangsung beberapa bulan. Hal ini dapat menjelaskan, mengapa bahan radioaktif
pada CT Scan otak tetap positif di daerah yang cidera untuk waktu yang lama.
10. HORMONAL
Pada CO terjadi gangguan sistem hormonal seperti :
- gangguan
KTS
- gangguan
hormon kelamin. Pada CO produksi Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
meningkat yang mengakibatkan terjadinya kematangan kelamin lebih awal pada anak
laki-laki umur < 9 tahun dan anak wanita < 8 tahun (Pubertas Precox)
- gangguan
hormon aldosteron. Aldosteron mengatur keseimbangan elektrolit dan air. Pada CO
akan terjadi kenaikan kadar serum aldosteron sehingga timbul gangguan pada
keseimbangan elektrolit dan air; terjadi retensi Na+, hilangnya K+
dan Cl- mengakibatkan timbulnya edema tubuh, hipokloremia dan
hipokalemia
- gangguan
Hormon Anti Diuretik (ADH). Pada CO, kadar ADH menurun, menyebabkan produksi
urin berlebihan, keadaan ini disebut diabetes insipidus dengan gejala poliurea,
polidipsia, berat jenis urin menurun, osmolaritas serum meningkat dan kadar Na+
serum meningkat.
11. EDEMA OTAK
Edema otak adalah
akumulasi air yang berlebihan di dalam jaringan otak, baik intra- dan / atau
ekstraselular.
Pada edema otak
terlihat penyempitan sulkus dan pendataran girus, hilangnya batas substansia
alba dan grisea, dan tampak pendesakan atau dorongan struktur melampaui garis
tengah.
Gambaran mikroskopik
- Rongga
perivaskuler dan periseluler melebar
- Akson dan
mielin membengkak dan berwarna pucat
- Jaringan
glial membengkak dan rongga ekstraseluler melebar
Gambaran elektron mikroskopik
- Pembengkakan
astroit perkapiler dan jarang terjadi perubahan dari oligodendroglia
- Perubahan
abnormal dari elemen sitoplasma
- Rongga
ekstraseluler subkortikal tidak berubah
Edema otak pada CO
Edema otak pada CO dibagi menjadi :
a. Edema otak vasogenik : edema otak yang
disebabkan oleh kerusakan SDO atau peningkatan permeabilitas SDO yang
mengakibatkan terjadinya penimbunan cairan di ruang ekstraseluler dan
ekstraseluler.
b. Edema otak sitotoksik : edema otak yang
disebabkan oleh adanya gangguan metabolisme sel otak, terjadi retensi air dan
Na di dalam sel otak.
Perbedaan edema vasogenik dan sitotoksik
Edema vasogenik
(Hirn odem / Brain Edema)
Letak edema : ekstraseluler
Patofisiologi : kebocoran
SDO
Sebab : CO, stroke,
infeksi otak, dan terjadi juga pada stadium akhir dari iskemia serebri
Edema sitotoksik
(Brain Swelling)
Letak edema : intraseluler
Patofisiologi : gangguan
metabolisme atau gangguan energi (metabolisme anaerob)
Sebab : intoksikasi,
sindrom Reye, status epileptikus, stadium awal dari iskemia.
Secara normal
kandungan air dalam korteks serebri sebesar 80% dan di substansia alba 70%.
Pada edema, kandungan air di korteks serebri meningkat menjadi 82% dan di
substansi alba 77%. Selama ini untuk mengetahui patofisiologi dan perubahan
biokimia yang berhubungan dengan edema otak banyak diperoleh dari hewan
percobaan. Kondisi yang tercipta pada berbagai model percobaan tidak serupa
benar dengan kondisi yang sebenarnya terjadi pada penderita. Hal ini disebabkan
karena perbedaan volume isi otak, perbandingan yang tidak sama dari substansia
alba dan grisea pada berbagai spesies, dan variasi sistem kolateral pembuluh
darah otak. Pada percobaan edema otak oleh suatu trauma, terjadi pengumpulan
cairan yang berlebihan terutama di rongga ekstraseluler, dan ini bisa
dibuktikan dengan cara :
- pemberian
bahan yang mengandung Evens blue, dimana terlihat pengumpulan bahan kontras di
rongga ekstraseluler
- pengecatan
dengan Massons trichrome stain untuk melihat adanya kandungan protein di dalam
rongga ekstraseluler dan intraselelur
Pada CO belum
dapat diketahui dengan jelas berbagai hal terutama yang menyangkut
patofisiologi terjadinya edema serta lamanya edema berlangsung. Hal ini
menyulitkan penatalaksanaan yang bertujuan mengurangi edema otak. Waktu terjadinya
dan lamanya edema otak berlangsung, sangat bervariasi, berkisar antara beberapa
detik, beberpa menit hingga beberapa jam – 24 jam, edema otak akan mencapai
puncak dalam 24 jam, dan berangsur-angsur berkurang hingga reda dalam beberapa
hari. Tetapi ada percobaan yang menunjukkan bahwa edema otak berlanjut dan
mencapai puncak pada minggu ke II (hari ke 7 – 10) dan baru reda dalam waktu 21
hari. Keadaan ini sesuai dengan patofisiologi perluasan edema otak akibat COS
karena pengaruh vasospasme, yang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan CT Scan
kepala dan angiografi pembuluh darah otak.
Patofisiologi terjadinya edema otak
CO menyebabkan
kerusakan “Endothel Tight Junction” sehingga SDO terganggu integritasnya dan
terjadi penerobosan zat-zat bermolekul besar atau plasma dan mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan. Edema akan berlanjut selama masih ada kebocoran
kapiler dan perbedaan tekanan jaringan. Kecepatan dan penyebaran edema
tergantung dari besarnya perbedaan tekanan dan adanya bahan-bahan biokimia yang
dibebaskan oleh jaringan yang rusak sebagai penyebab meningkatnya permeabilitas
dari SDO yang selanjutnya menyebabkan terjadinya COS.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 2002. Peranan oksigen reaktif pada cedera kepala
berat pengaruhnya pada gangguan fungsi enzim akinitase dan kondisi asidosis
primer otak, disertasi 2002
Becker, D.P., Miller, J.D., Sweet, R.C., Young, H.F.,
Sullivan, H. And Griffith (1979). Head injury management. In : Neural trauma.
Editors : Popp, A.J., Gourke, R.S., Nelson, L.R. and Kimelberg, H.K. Raven
press New York, pp 313-328.
Bullock, R. And Fujisawa, H. (1992). The Role of glutamate
antagonists for the treatment of CNS injury J.Neurotrauma, 9,443-462.
Clubb, R.J., Maxwell, R. and Chou, S. (1980). Experimental
brain injury in the dog : Pathophysiological correlation. In: Intracranial
pressure IV. Editors: Schulman, K., Marmarou, A., Miller, J.D., Becker, D.P.,
Hochwald, G.M. and Brock, M. Springer-Verlag. Berlin, pp 66-69.
Diaz-Marchan PJ, Hayman LA, Carrier DA, Feldman DL (1996).
Computed tomography of closed head
injury. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT (eds). Neurotrauma.
McGraw-Hill.New York. Pp. 137-149.
FCA (1998). Fact sheet: Traumatic brain injury: selected
statistics. http://www.caregiver.org/factsheets/tbi_statsC.html
Gennarelli, T.A. and Thibault, L.E.(1985). Biomechanics of
head injury. In : Neurosurgery volume II. Editors : Wilkins, R.H. and
Rengachary, S.S., Mc Graw Hill USA, pp 1531 - 1535
Graham, D.I., Adam, J.H. and Gennarelli, T.A. (1987).
Pathology of brain damage in head injury. In : Head injury second edition.
Editors : Cooper, P.R., Williams and Wilkins, baltimore USA, pp 72-88.
Gromek, A., Dzajkowska, D., Dzernicki, Z., Jurkiewics, J.
And Kunichi, A. (1973). Biochemical disturbance in experimental brain edema.
In: Advances in
Hafid, B. 2002.
Kranioplasti Ototransplantasi Kalvarium. Perbandingan Penyimpanan di
Subgalea dan Penyimpanan Beku [Disertasi]. Program Pascasarjana Universitas
Airlangga, Surabaya.
Hayes, R.I. and Ellison, M.D. (1989). Animal models of
concussion of head injury. In : Textbook of head injury. Editors : Becker, D.P.
and Gudermann, S.K.., W.B. Sounders. Philadelphia, pp 426
Jennett, B.,
Teasdale, G.(1981). Management of head injuries. F.A. Davis Co, Philadelphia pp
77 - 93
Kaplan, M.S. (1988) . Plasticity after brain lession :
contemporary concepts Arch phys med rehabil, 69, 984 - 991
Marmarou, A., Takagi, H., Haegens, C.W. and Shulman, K.
(1980). Effects of cerebral edema upon viscoelastic properties of brain tissue.
In : Intracarnial pressure IV. Editors : Shulman, K., Marmarou, A., Miller,
J.D., Becker, D.P., Hochwald, G.M. and Brock, M. Springer - Verlag. Berlin, pp
97 – 101
mages.neurosurg.multiply.multiplycontent.com
tutorialkuliah.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar