KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puja dan puji syukur
kami haturkan kepada Allah SWT, karena atas berkat, rahmat, taufik, hidayah,
serta inayah-Nya lah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah
Agama dengan judul “EUTHANASIA” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini disusun sebagai
syarat melengkapi tugas akhir Agama Semester I tahun ajaran . Dalam
penyusunan makalah ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan dan dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
Pihak-pihak
yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu dalam penyusunan
tugas makalah ini.
Kami sebagai penulis mengaku
bahwa “tak ada gading yang tak retak”, oleh karena itu, sumbang saran dan
kritik yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan demi perbaikan dan
penyempurnaan. semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Akhirul kalam ... wabilahit
taufiq wal hidayah war ridho wal inayah.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
bojonegoro, 21 Desember 2011
edies sank putra
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................... 2
A.
Pengertian
Euthanasia dan Macam-macamnya..................................... 2
B.
Kriteria
Mati....................................................................................... 3
C.
Euthanasia
Menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran....................... 4
D.
Euthanasia
dalam Tinjauan Hukum Islam.............................................. 5
BAB III PENUTUP............................................................................................... 9
A.
Kesimpulan......................................................................................... 9
B.
Saran-saran........................................................................................ 9
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan dunia yang
semakin maju dan peradaban manusia yang gemilang sebagai refleksi dari kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum
kemasyarakatan dunia bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat yang bersangkutan. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati
kedudukan yang tinggi. Apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat,
interpretasi terhadap hukum juga bisa berubah.
Akibat gerakan kebebasan,
masyarakat barat yang menganut sistem demokrasi liberal dimana hak individu
sangat dijunjung tinggi dan nilai-nilai moral telah terlepas dari poros agama
(gereja), ditandai dengan berkembangnya paham sekularisme. Siapapun (termasuk
pemerintah) tidak boleh mencampuri dan mengganggu hak individu.
Masalah euthanasia telah lama
dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran dan para praktisi hukum di
negara-negara barat. Pro dan kontra terhadap euthanasia itu masih berlangsung
ketika dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak siapa dan dari
sudut mana ia harus melihat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Euthanasia dan Macam-macamnya
Euthanasia berasal dari kata Yunani eu
: baik dan thanatos : mati. Maksudnya
adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit.
Euthanasia sering disebut : mercy
killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien
sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih
sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).
Tindakan
euthanasia dikategorikan menjadi 2 :
- Aktif
- Pasif
Euthanasia aktif adalah : suatu tindakan mempercepat proses kematian,
baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika,
seperti : melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan
lain-lain. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah :
jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan
adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita
ketika tindakan itu dilakukan.
Euthanasia pasif adalah : suatu tindakan membiarkan pasien/penderita
yang dalam keadaan tidak sadar (comma),
karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan
hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena
salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti : bocornya pembuluh
darah yang menghubungkan ke otak (stroke)
akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung.
B. Kriteria
Mati
Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak berfungsi, karena
jantung merupakan alat pemompa darah ke seluruh tubuh. bahwa jantung ternyata
digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak
kepala.
Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung
terganggu. Tetap perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati, kata Prof.
Dr. Mahar Mardjono (eks Rektor UI). Jadi, kalau hanya terjadi perdarahan pada
otak, penderita tidak mati, jika batang otak betul-betul mati, maka harapan
hidup seseorang sudah terputus.
Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian otak
yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan
kematian batang otak. Kerusakan batang otak lebih fatal karena terdapat pusat
saraf penggerak motor semua saraf tubuh. Menurut Dr. Kartono Muhammad (wakil
ketua Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan seseorang mati bila batang otak
menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.
Para fuqaha menurut Dr. Peunoh
Daly menentukan ukuran hidup matinya seseorang dengan empat fenomena. Pertama,
adanya gerak/nafas, gerakan sedikit/banyak. Kedua, adanya suara maupun bunyi,
yang terdapat pada mulut, jeritan tangis, dan rasa haus. Ketiga, mempunyai
kemampuan berfikir terutama bagi orang dewasa. Keempat, mempunyai kemampuan
merasakan lewat panca indra dan hati.
Kriteria yang dikemukakan fuqaha yaitu kriteria pertama dan kedua masih
belum menjamin, karena sering orang tidak bernafas dan tidak bersuara pada saat
comma. Sedangkan kriteria ketiga yaitu kemampuan berfikir, hanya salah satu
vitalitas otak. Kerusakan organ tidak fatal masih bisa dioperasi. Kriteria
keempat, sulit dideteksi dengan menggunakan alat canggih.
Keempat kriteria dapat diterapkan di tempat yang tidak ada alat ukur
seperti disebutkan Prof. Mahar.
C. Euthanasia
Menurut KUHP dan Kode Etik Kedokteran
Prinsip umum UU Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah jiwa
manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak untuk hidup secara wajar
sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan : “Barang siapa menghilangkan jiwa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata
dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.
Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum,
apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga
yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini,
tetapi ia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun”. Dokter bisa
diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran. Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 pasal 10 menyebutkan : “Setiap
dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi ‘hidup’
makhluk insani”.
Menurut
etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan :
- Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
- Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak akan mungkin sembuh lagi.
Seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya
untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi
tidak untuk mengakhirinya.
D. Euthanasia
dalam Tinjauan Hukum Islam
- Kedudukan jiwa dalam Islam
Islam
sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak ayat
Al-Qur’an maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara
jiwa manusia (hifzh al nafs). Jiwa,
meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT.
Di
antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau “nafs” itu adalah :
a.
Surat
Al-Hijr ayat 23 :
Artinya
:
“Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang
menghidupkan dan mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi”.
b.
Surat
Al-Najm ayat 44 :
Artinya
:
“Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan
dan menghidupkan”.
Tindakan
merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri
adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan Islam
terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa
manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat).
- Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati
Yang
menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :
a.
“Nash” yang melarang perbuatan itu dan
memberikan ancaman hukuman terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syar’i).
b.
“Tindakan”
yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata maupun sikap
“tidak berbuat”. Unsur ini disebut unsur material (rukun maddi).
c.
“Pelaku”
yang mukallaf, yaitu orang yang dapat
dimintai pertanggung-jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut
unsur moral (rukun abadi).
Dari
segi nash Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Aspek tindakan sebagai
unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk mengurangi beban
pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf
dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari
pertimbangan-pertimbangan berikut :
1.
Dari
pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi
menderita sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat dan sudah lama.
Pasien juga mempertimbangkan masalah ekonomi. Atau pasien sudah tahu bahwa
ajalnya sudah dekat, harapan untuk sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya
tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih “nyaman” yaitu melalui
euthanasia.
2.
Dari
pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien.
3.
“Kemungkinan
lain” bisa terjadi, bahwa pihak keluarga bekerjasama dengan dokter untuk
mempercepat kematian pasien.
Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang
bisa/boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya
dalam surat Al-Isra ayat 33 (juga Al-An’am : 151).
Artinya
:
“Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah, melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.
Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri
hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari 3 sebab
:
1.
Karena
pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim.
2.
Janda
secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
3.
Orang
yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jama’ah Islam.
Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau
diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh
Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi
hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya). Oleh
karena itu ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya.
Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya
hanya karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang,
bukan untuk lari dari kenyataan. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Syaltut memberikan
pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu
kejahatan disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Bahwa perintah
korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku.
Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan,
bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga.
Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran,
ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkan.
Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien
sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi kepastian
hidup. Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3 organ utama
yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak besar, bukan
batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi pasien yang
berada di RS yang lengkap peralatannya. Tetapi bila pasien berada di RS yang
sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari yang
disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS yang lebih
lengkap. Allah tidak memberikan beban kewajiban yang manusia tidak sanggup
memikulnya. Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat
kematian pasien.
Kalau kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ lainnya
akan terhenti pula fungsinya. Memang bisa terjadi, ketika batang otak telah
rusak, tetapi jantung masih berdenyut. Apalagi jika batang otak sudah mengalami
pembusukan. Maka dalam kondisi yang demikian, tindakan euthanasia pasif boleh
dilaksanakan, umpamanya dengan mencabut selang pernafasan, masker oksigen,
pemacu jantung, saluran infus dsb. Maksudnya hanya sebagai langkah
menyempurnakan kematian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
- Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
- Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran, Undang-Undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut Islam yang menghukumnya dengan haram. Terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja. Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagai membantu terlaksananya bunuh diri.
- Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, dan korteks, dalam dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi. Maka tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.
B. Saran-saran
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya
euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut :
- Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara :
a.
Menghentikan
perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah.
b.
Membiarkan
pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi
menghendaki kematiannya.
- Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah.
- Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar